Friday, May 31, 2013

Hilangnya Tiga Permata Mahkota BERYL CORONET




         "Holmes," kataku ketika suatu pagi aku sedang berdiri di depan jendela sambil memandangi jalanan." ada orang gila mendekat. Menyedihkan sekali karena keluarganya membiarkan dia keluar sendirian."

          Temanku dengan malas bangkit dari kursinya dan berdiri dengan kedua tangannya di dalam saku mantelnya dan melihat melalui atas pundakku.
Saat itu pagi yang cerah di bulan februari, dan salju hari sebelumnya masih melapisi tanah, berkilauan dengan indahnya di bawah sinar matahari musim dingin.
               Di pusat Baker Street salju telah hancur, tetapi di tepi dan yang menumpuk di ujung jalan masih seputih saat jatuh. Sebenarnya, dari arah stasiun metropolitan tak seorang pun datang menyelamatkan laki-laki itu yang perilakunya telah menarik perhatianku.

                 Dia adalah lelaki berumur lima puluh tahun, tinggi, gemuk, dan mengesankan, dengan wajah yang kuat dan tegas dan figur berwibawa. Dia mengenakan pakaian kusam penuh gaya, jaket frock hitam, topi mengilat, kaus kaki cokelat rapi, tingkahnya yang kontras dengan baju dan wajah
berwibawa, karena dia berlari kencang, tampak lelah seperti orang yang terbiasa membawa beban.

"Apa yang terjadi dengannya ?" tanyaku.
"Dia sedang mencari nomor rumah. Aku yakin dia akan datang kemari." kata Holmes, sambil mengusap tangannya.
"Ke sini?"
"Ya, menurutku dia akan datang kemari untuk berkonsultasi secara profesional. Aku rasa aku mengenal tanda-tandanya. Ha! Apa kubilang?"
Bersamaan dengan itu, laki-laki itu, sambil terengah-engah dan terburu-buru bergegas menuju pintu dan menekan bel hingga seisi rumah mendengar deringanya.

Beberapa saat kemudian dia telah berada di ruangan kami, masih terengah-engah, tetapi dengan wajah sangat sedih dan putus asa tampak di matanya membuat senyum kami berubah menjadi cemas dan kasihan.
Beberapa saat dia tak dapat berkata-kata, selain menggerakkan tangannya dan menjambak-jambak rambutnya seperti orang yag telah putus asa. Kemudian tiba-tiba melompat, membenturkan kepalanya ke dinding dengan kuat sehingga kami segera memegang da menjauhkannya dari dinding dan
membawanya ke tengah ruangan. Sherlock Holmes membimbingnya duduk di kursi, dan sambil duduk di sampingnya, menepuk-nepuk tangannya dan berbicara dengannya nada menenangkan yang sudah menjadi keahliannya melakukan hal seperti itu.

"Kau datang kepadaku untuk menceritakan masalahmu, bukan ?" katanya, "Kau lelah. Silakan menunggu sampai kau pulih dan aku akan dengan senang hati mendengarkan masalahmu sedetail-detailnya."


Laki-laki itu duduk sebentar satu-dua menit dengan dada naik turun mencoba meredam emosinya. Kemudian, dia mengusapkan sapu tangan ke keningnya, menutup rapat mulutnya, dan menoleh kepada kammi.
"Pasti kau mengira aku gila," ujarnya.
"Aku berpikir kau pasti kau pasti sedang memiliki masalah besar.Tenangkan dirimu, Tuan,"kata Holmes.
"katakan kepadaku denga jelas siapa dan apa yang telah menimpamu."

"Namaku," jawab tamu kami, "mungkin sudah tidak asing bagimu. Aku adalah Alexander Holder, dari perusahaan perbankan Holder & Stevenson, dari Threadneedle Street."
"Nama itu memang tidak asing bagi kami, pemilik kemitraan senior pada bank swasta terbesar kedua yang berpusat di London. Lalu apa yang terjadi ?"
Kami menunggu penuh rasa penasaran, hingga dia menguatkan diri sendiri untuk menceritakan masalahnya.

"Aku rasa waktu sangat berharga," serunya, "maka aku segera datang kemari ketika seorang inspektur polisi menyarankan aku bahwa seharusnya bekerja sama denganmu. Aku datang ke Baker Street dengan kereta bawah tanah. Dari sana berjalan kaki kesini, karena kereta kuda sangat lambat
berjalan diatas salju. Itulah kenapa aku sangat kelelahan, karena aku jarang berolahraga. Sekarang aku merasa lebih baik, dan aku akan menceritakan semuanya sejelas mungkin."

"Kau pasti tahu bahwa keberhasilan bisnis perbankan tergantung atas kemampuan kita memperoleh keuntungan investasi, meningkatkan koneksi, dan jumlah nasabah. Salah satu cara yang paling menguntungkan untuk menjalankan uang kita adalah dalam bentuk pinjaman, dimana tingkat
keamanan sangat terjamin. Kami sering melakukan dengan cara ini selama beberapa tahun terakhir."

"Kemarin pagi, saat aku sedang duduk di kantorku, salah seorang bawahanku memberikan sebuah kartu. Aku terkejut melihat nama yang tertera pada kartu tersebut, karena orang itu salah satu orang terpenting di Inggris. Ketika bertemu denganku, tanpa basa-basi ia langsung mengutarakan permasalahan."

"Tuan Holder,"beliau berkata, 'aku mendapat informasi bahwa kau biasa meminjamkan uang."
"Perusahaan ini melakukan hal itu jika jaminannya bagus," jawab aku.
"Hal ini sangat penting bagiku,' beliau berkata, 'aku membutuhkan 50.000 pounds secepatnya. Aku ingin membuatnya menjadi dan menghasilkan usahaku sendiri."


"Untuk berapa lama, jika boleh saya tahu, Anda menginginkan sejumlah ini ?' tanyaku."


"Senin depan aku mendapatkan sejumlah besar yang akan dibayarkan kepadaku, dan aku akan segera melunasi pinjaman tersebut, beserta bunga yang menurutmu pantas. Tetapi ini sangat penting bagiku bahwa uang tersebut harus segera dibayarkan."

"Dengan senang hati saya akan memberi pinjaman tanpa banyak pembicaraan lagi dari kantong saya sendiri,' kataku.
"Di sisi lain, jika aku melakukannya atas nama perusahaan, meskipun kasus anda sekalipun, bahwa setiap tindakan pencegahan harus diambil."

"Aku juga menginginkan hal tersebut,' beliau berkata, sambil mengangkat kotak hitam persegi dari kulit kambing yang diletakkan di samping tempat duduknya.
 
"Kau pasti pernah mendengar Beryl Coronet?"
------
.
kisah belum selesai, tunggu kelanjutannya. hehe.

Kasus Identitas

           “Sobatku,” kata Sherlock Holmes ketika kami berdua sedang dudukdi samping perapian di kamarnya yang terletak di Baker Street, “hidup ini jauh lebih aneh daripada apa pun yang dapat kita khayalkan. Dibandingkan dengan hal-hal sepele yang terjadi sehari-hari, hasil imajinasi kita sebetulnya tak ada artinya.

             Seandainya kita berdua bisa terbang dan meluncur ke luar dari jendela itu sambil bergandeng tangan, melayang mengitari kota yang luas ini, sambil dengan perlahan-lahan menembus atap-atap rumah dan mengintip di dalamnya, dapat kita lihat berbagai peristiwa yang aneh-aneh. Kebetulan-kebetulan, rencana-rencana, pertentangan-pertentangan, pokoknya segala macam rangkaian kejadian luar biasa yang terjadi dari generasi ke generasi secara terus-menerus. Dengan demikian, karya-karya fiksi yang konvensional dan biasanya mudah ditebak kesimpulannya sejak awal, akan cepat jadi basi dan tak akan diminati pembaca lagi.”

“Ah, aku tak yakin akan hal itu,” jawabku. “Kasus-kasus yang berhasil dibongkar selama ini sebagaimana dimuat di surat-surat kabar, bukankah semuanya cukup gamblang dan juga mengerikan? Dalam laporan-laporan polisi, dapat kita temukan realisme yang seekstrem-ekstremnya, namun toh harus kita akui bahwa hasilnya tak begitu mengesankan.”
“Kalau mau realistis, ya perlu seleksi dan kebijaksanaan,” komentar Holmes. “Ini yang sebenarnya harus ada dalam laporan polisi. Selama ini, hanya omong kosong hakim saja yang lebih ditekankan. Padahal bagi orang yang jeli, detail-detailnya yang penting. Di situlah terletak keunikan dari kasus yang nampaknya biasa-biasa saja itu.”
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Aku bisa mengerti mengapa kau berpendapat demikian,” kataku. “Karena posisimu sebagai penasihat dan penolong orang-orang yang berasal dari tiga benua yang sedang sangat kebingungan menghadapi masalah yang aneh-aneh dan istimewa. Tapi di sini”---kuraih koran pagi yang tergeletak di lantai---“coba kita ambil sebuah contoh. Nih, judul yang pertama kali kudapatkan. ‘Kekejaman seorang suami terhadap istrinya.’ Kisahnya dibeberkan panjang lebar sampai memenuhi setengah halaman. Tapi tanpa membaca isinya pun aku sudah tahu kisahnya. Begitulah, ada wanita lain, suami yang peminum sehingga terdorong untuk berbuat kejahatan, lalu istrinya dipukul sampai luka-luka, lalu ketahuan seorang adik atau kakak atau pemilik rumah sewa yang bersimpati atas kejadian itu. Seorang penulis pemula pun takkan mengarang cerita sesederhana itu.”
“Wah, contoh yang kau ambil tak cocok dengan bantahanmu,” kata Holmes sambil memungut koran itu. Matanya lalu menatap berita yang kubaca sepintas tadi. “Ini kasus perceraian keluarga Dunda, dan kebetulan aku terlibat untuk menyelesaikan kasus ini. Sang suami bukan seorang peminum, tak ada keterlibatan wanita lain, dan masalah yang dikeluhkan adalah kebiasaannya mencopot gigi palsunya lalu melemparkannya kepada istrinya setiap kali dia habis makan. Perbuatannya itu pasti tak pernah terbayangkan oleh seorang penulis. Silakan cicipi tembakau ini, Dokter, dan akuilah bahwa aku telah mengunggulimu dalam hal contoh yang kauajukan ini.”
Dia mengeluarkan kotak tembakaunya yang terbuat dari emas kuno. Bagian tengah tutupnya berhiaskan batu kecubung besar. Kotak yang mewah itu sangat kontras dengan gaya hidup temanku yang sederhana, sehingga aku pun terdorong untuk mengemukakan komentarku.
“Ah,” katanya, “aku lupa bahwa sudah beberapa minggu aku tak bertemu denganmu. Kotak tembakau ini adalah kenang-kenangan dari Raja Bohemia sebagai tanda terima kasihnya atas bantuanku dalam kasus yang menyangkut surat-surat yang dikirimkannya kepada Irene Adler.”
“Dan cincin itu?” tanyaku sambil menatap cincin yang gemerlap di jarinya.
“Dari keluarga Kerajaan Belanda. Sayang kasus yang kutangani itu amat sangat rahasia sifatnya, sehingga aku tak bisa menceritakannya kepada siapa pun, termasuk kau yang selama ini telah berbaik hati menuliskan beberapa kasus kecil yang pernah kupecahkan.”
“Apakah saat ini kau sedang menangani sebuah kasus?” tanyaku dengan penuh minat.
“Ada sekitar sepuluh sampai dua belas kasus, namun tak ada yang menarik. Semuanya memang penting, tapi tak menarik. Yah, menurut pengalamanku, biasanya justru yang tak begitu pentinglah yang butuh penyelidikan, dan kalau berhasil menganalisis sebab dan akibatnya dengan cepat, di situlah letak keasyikannya. Kejahatan-kejahatan yang besar biasanya lebih sederhana, karena jelas sekali terlihat motifnya. Kasus-kasus seperti ini, kecuali kasus Marseilles yang cukup rumit, tak begitu menarik. Tapi mungkin akan ada kasus yang lebih menarik dalam beberapa menit ini, karena kalau tak salah ada seorang klienku yang akan segera menuju kemarin.”
Dia bangkit dari kursinya, lalu berdiri di muka jendela sambil menengok ke bawah, ke jalanan kota London yang suasananya membosankan. Dari belakang bahunya, aku melihat seorang wanita tinggi besar berdiri di trotoar seberang. Lehernya tertutup syal bulu binatang, dan ia mengenakan topi lebar yang tepinya berhiaskan bulu unggas yang melingkar-lingkar berwarna merah. Topi itu dipakai miring seperti gaya Duchess-of-Devonshire yang genit. Dari balik perlengkapannya yang semarak ini dia mengintip ke arah jendela kami dengan gelisah dan ragu-ragu, sambil tubuhnya bergerak maju-mundur dan jari-jarinya meremas-remas kancing-kancing kaus tangannya. Sekonyong-konyong, bagaikan perenang yang meluncur ke air dari pinggir kolam, dia bergegas menyeberang jalan, dan memencet bel apartemen Holmes.
“Aku pernah melihat gejala seperti ini sebelumnya,” kata Holmes sambil melemparkan rokoknya ke perapian. “Keragu-raguannya itu tanda adanya masalah yang amat berat. Dia perlu minta nasihatku, tapi dia ragu-ragu karena masalahnya sebetulnya sangat rahasia. Tapi ini pun bisa macam-macam sifatnya. Kalau seorang wanita diperlakukan secara jahat oleh seorang pria, sikapnya takkan ragu-ragu seperti itu. Gejalanya biasanya adalah tali bel yang putus. Kali ini mungkin masalah cinta, tapi nampaknya si wanita tidak marah, malah bingung dan sedih. Nah, orangnya telah tiba dan kita tak perlu menduga-duga lagi.”
Begitu kata-katanya selesai, pintu ruangan kami diketuk orang, dan pelayan memberitahu kami akan kedatangan Miss Mary Sutherland. Wanita itu sendiri mengikuti di belakangnya. Tubuh pelayan yang kecil itu sangat kontras dibandingkan tubuh sang tamu. Sherlock Holmes menyapa Miss Sutherland dengan keramahannya yang khas. Setelah menutup pintu dan mempersilakan wanita itu duduk, dia langsung memperhatikannya secara menyeluruh tapi dengan setengah melamun, seperti kebiasaannya.
“Apakah Anda tak mengalami kesulitan,” katanya, “mengerjakan pekerjaan mengetik, padahal mata Anda rabun dekat?”
“Mula-mula memang sulit,” jawab wanita itu, “tapi sekarang saya sudah hafal letak huruf-hurufnya tanpa melihat sekalipun.” Tiba-tiba dia terkejut menyadari implikasi pernyataan Holmes. Wajahnya yang lebar dan penuh rasa humor menatap Holmes dengan penuh ketakutan dan keheranan. “Anda telah mendengar tentang saya, Mr. Holmes,” teriaknya. “Kalau tidak, bagaimana Anda tahu semua itu?”
“Sudahlah,” kata Holmes sambil tertawa, “pekerjaan saya memang mencari tahu tentang banyak hal. Saya mungkin telah terbiasa melihat hal-hal yang terlewatkan oleh orang lain. Itu sebabnya Anda datang meminta nasihat saya, kan?”
“Saya kemarin, sir, karena saya mendengar tentang Anda dari Mrs. Etherege. Anda telah menemukan suaminya dengan begitu mudahnya, padahal polisi dan semua orang telah menganggapnya mati. Oh, Mr. Holmes, saya harap Anda bisa berbuat hal seperti itu untuk saya. Saya bukan orang kaya, tapi toh saya berpenghasilan tetap sebanyak seratus pon setahun. Di samping itu, saya juga ada sedikit pemasukan dari pekerjaan mengetik. Semuanya akan saya bayarkan kepada Anda kalau Anda bisa mendapatkan informasi tentang Mr. Hosmer Angel.”
“Kenapa Anda kemari dengan sangat terburu-buru begitu?” tanya Sherlock Holmes. Dikatupkannya kedua tangannya dan dilayangkannya pandanganna ke langit-langit ruangan.
Sekali lagi wajah Miss Mary Sutherland yang agak hampa menunjukkan keheranan. “Ya, saya memang kabur dari rumah,” katanya. “Saya sebal karena Mr. Windibank, ayah saya, menganggap enteng masalah ini. Dia tidak mau lapor polisi, tidak mau menemui Anda, dan tidak berbuat apa-apa. Dia malah mengatakan bahwa toh tak ada kerugian apa-apa. Maka saya pun menjadi jengkel, lalu mengemasi barang-barang saya, dan langsung pergi menemui Anda.”
“Ayah Anda?” tanya Holmes. “Maksudnya pasti ayah tiri Anda, karena nama keluarganya lain dari nama keluarga Anda. Begitukah?”
“Ya, ayah tiri saya. Saya memanggilnya Ayah, walaupun kedengarannya lucu, karena umurnya cuma lima tahun dua bulan lebih tua dari saya.”
“Apakah ibu Anda masih hidup?”
“Oh, ya. Ibu saya masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja. Saya agak keberatan, Mr. Holmes, ketika ibu saya menikah lagi tak lama setelah ayah kandung saya meninggal. Menikahnya dengan pria yang hampir lima belas tahun lebih muda dari dirinya, lagi! Dulu, Ayah membuka usaha perbaikan leding di Tottenham Court Road, dan ketika dia meninggal, usahanya sedang berjalan dengan baik. Ibu lalu melanjutkan usaha itu bersama Mr. Hardy, kepala para tukang. Ketika Mr. Windibank masuk dalam kehidupan Ibu, pria itu menyuruhnya menjual usaha tersebut.. Dia menganggap usaha begitu tak pantas untuknya, karena dia adalah seorang pedagang anggur botolan. Mereka akhirnya menjual usaha Ayah dengan harga 4.700 pound, jumlah yang cuma sedikit dibanding kalau ayah kandung saya yang menjualnya.”
Kupikir Sherlock Holmes akan menjadi tak sabar dengan kisah yang ngelantur dan ngawur itu. Tapi sebaliknya, dia malah mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Penghasilan Anda sendiri,” tanyanya, “apakah itu berasal dari usaha ayah Anda itu?”
“Oh, tidak, sir. Lain. Penghasilan saya berasal dari warisan Paman Ned yang dulu tinggal di Auckland, dalam bentuk saham yang berbunga empat setengah persen. Jumlah seluruhnya 2.500 pound, tapi saha hanya berhak menerima bunganya.”
“Kisah Anda sangat menarik perhatian saya,” kata Holmes. “Karena penghasilan Anda mencapai seratus pound setahunnya, ditambah lagi dengan hasil kerja Anda sendiri, Anda pastilah bisa bepergian ke mana-mana dan memanjakan diri kalau mau. Saya rasa seorang wanita yang masih sendirian seperti Anda hanya memerlukan sekitar enam puluh pound setahun.”
“Biaya hidup saya tidak sampai enam puluh pound, Mr. Holmes, tapi Anda harus tahu bahwa selama saya masih tinggal di rumah, saya tak mau menjadi beban. Jadi merekalah yang memakai uang itu selama saya tinggal bersama mereka. Mr. Windibank mengambil bunga uang saya setiap tiga bulan sekali, lalu menyerahkannya pada ibu saya, sedangkan saya hanya memegang uang hasil pekerjaan mengetik. Saya mendapat upah dua penny selembar, dan dalam sehari saya bisa mengetik lima belas sampai dua puluh lembar.”
“Anda telah menggambarkan keadaan Anda dengan sangat jelas,” kata Holmes. “Ini teman saya, Dr. Watson. Anda bisa bercerita kepadanya sebebas Anda bercerita kepada saya. Sekarang, silakan ceritakan hubungan Anda dengan Mr. Hosmer Angel.”
Wajah Miss Sutherland memerah sejenak dan dengan gelisah dia mempermainkan ujung jaketnya. “Saya bertemu untuk pertama kali dengannya pada pesta dansa para tukang leding,” katanya. “Ketika masih hidup ayah saya sering diundang ke pesta seperti itu, dan sesudah Ayah meninggal Ibu tetap diundang. Mr. Windibank tak mengizinkan kami menghadiri pesta-pesta semacam itu. Dia tak pernah mengizinkan kami pergi ke mana pun. Bahkan, dia juga marah ketika saya ingin pergi ke jamuan makan Sekolah Minggu di gereja. Tapi waktu itu saya bertekad untuk pergi, karena apa haknya melarang saya? Dia mengatakan bahwa yang hadir di pesta dansa itu tidak pantas menjadi teman kami, padahal mereka semuanya teman ayah kandung saya. Lalu dia mengatakan bahwa saya tak punya pakaian pesta yang pantas, padahal saya punya gaun pesta berwarna ungu yang jarang sekali keluar dari lemari pakaian saya. Akhirnya, karena dia tak bisa mencari alasan lain lagi yang masuk akal, dia terbang ke Prancis untuk mengurus bisnisnya. Kami, Ibu dan saya, nekat pergi ke pesta dansa itu bersama Mr. Hardy, yang dulu menjadi kepala tukang di kantor Ayah. Di pesta itulah saya berkenalan dengan Mr. Hosmer Angel.”
“Saya rasa,” kata Holmes, “ketika Mr. Windibank kembali dari Prancis, dia marah ketika mengetahui bahwa kalian telah pergi ke pesta dansa itu.”
“Oh, anehnya, dia baik-baik saja. Saya ingat, dia malah tertawa, mengangkat kedua bahunya, dan mengatakan bahwa tak ada gunanya bersitegang dengan wanita, karena bagaimanapun mereka akan mencari jalan supaya keinginannya terkabul.”
“Oh, begitu. Jadi di pesta dansa para tukang leding itulah Anda bertemu dengan pria bernama Mr. Hosmer Angel itu.”
“Ya, sir. Saya bertemu dengannya malam itu, dan keesokan harinya dia menelepon untuk menanyakan apakah kami sudah sampai di rumah dengan selamat. Sesudah itu, kami---tepatnya saya---masih bertemu lagi dengannya sebanyak dua kali, Mr. Holmes. Lalu kami berdua pergi berjalan-jalan. Tapi sesudah itu, ayah tiru saya kembali dari perjalanannya, dan Mr. Hosmer Angel tak bisa lagi datang ke rumah kami.”
“Tak bisa?”
“Yah, Anda kan tahu, Ayah tidak suka hal semacam itu. Dia tak mengizinkan kehadiran tamu, bahkan tamunya sendiri. Dia sering mengatakan bahwa seorang wanita harus merasa cukup bahagia dalam lingkungan keluarganya saja. Tapi menurut saya, seperti sering saya katakan kepada Ibu, seorang wanita tentu ingin juga membentuk keluarga baru---punya suami dan anak-anak, maksud saya.”
“Tapi bagaimana dengan Mr. Hosmer Angel? Tidakkah dia berupaya untuk menemui Anda?”
“Yah, Ayah akan berangkat ke Prancis lagi seminggu kemudian, dan kata Hosmer, dalam suratnya, sebaiknya kami tak saling bertemu sampai Ayah pergi. Kami saling bertulis surat saja selama menunggu itu, dan suratnya datang setiap hari. Saya mengambil suratnya setiap pagi, sehingga Ayah tak pernah tahu akan hal ini.”
“Apakah Anda sudah bertunangan dengannya saat itu?”
“Oh, ya, Mr. Holmes. Kami bertunangan setelah kami berjalan-jalan untuk pertama kalinya. Hosmer---Mr. Angel---bekerja sebagai kasir pada sebuah kantor di Leadenhall Street, dan….”
“Kantor apa?”
“Wah, maaf, Mr. Holmes, saya tidak tahu.”
“Kalau begitu, di mana rumahnya?”
“Dia tinggal di kantor itu juga.”
“Dan Anda tak tahu alamatnya?”
“Tidak---hanya tahu nama jalannya, Leadenhall Street.”
“Kalau begitu, waktu Anda mengirim surat padanya, Anda alamatkan ke mana surat itu?”
“Ke Kantor Pos Leadenhall Street. Surat itu akan ditinggal di situ sampai dia datang mengambilnya. Dia mengatakan bahwa kalau surat saya dialamatkan ke kantornya, dia akan diolok-olok oleh teman-teman sekerjanya, karena telah menerima surat dari seorang wanita. Lalu saya usulkan agar surat saya diketik saja, toh surat-suratnya juga diketik, tapi dia menolak. Menurutnya, kalau saya sendiri yang menulis surat itu, lebih mantap rasanya bagi dia. Kalau diketik, sepertinya surat itu bukan dari saya. Mr. Holmes, coba bayangkan bagaimana dia sampai memikirkan hal-hal sekecil itu. Itu menunjukkan betapa sayangnya dia pada saya.”
“Menarik sekali,” kata Holmes. “Sejak dulu saya berpendapat bahwa hal-hal kecil itulah yang paling penting. Adakah hal-hal kecil lain yang Anda ingat tentang Mr. Hosmer Angel?”
“Orangnya sangat pemalu, Mr. Holmes. Dia lebih suka berjalan-jalan bersama saya pada waktu malam daripada waktu siang. Dia mengatakan bahwa dia tak suka menjadi perhatian orang. Dia sangat tenang dan sopan. Suaranya pun lembut sekali. Dia menjelaskan pada saya bahwa ketika masih muda, amandelnya mengalami infeksi dan membengkak. Akibatnya, tenggorokannya menjadi lemah dan suaranya menjadi seperti orang ragu-ragu dan berbisik-bisik. Dia selalu berpakaian dengan baik, sangat rapi dan biasa-biasa saja modelnya. Penglihatannya kurang baik seperti saya, sehingga dia memakai kacamata gelap untuk menahan cahaya yang menyilaukan matanya.”
“Apa yang terjadi ketika Mr. Windibank, ayah tiri Anda itu, pergi ke Prancis lagi?”
“Mr. Hosmer Angel datang ke rumah lagi, dan mengusulkan agar kami menikah saja sebelum Ayah kembali. Dia sangat bersungguh-sungguh, dan saya dimintanya berjanji dengan tangan di atas Alkitab, bahwa apa pun yang akan terjadi saya akan tetap setia kepadanya. Ibu mengatakan bahwa permintaannya itu cukup masuk akal, dan itu menunjukkan kesungguhan cintanya. Ibu sangat menyukainya sejak awal perkenalan kami, dan makin lama makin menyukainya, lebih dari diri saya sendiri. Lalu, ketika mereka membicarakan tentang rencana pernikahan dalam minggu itu, saya mulai bertanya tentang Ayah, tapi mereka berdua mengatakan agar saya tak usah memikirkan soal Ayah, karena dia pasti akan setuju. Saya agak kaget, Mr. Holmes. Memang rasanya lucu kalau saya minta persetujuannya, karena dia hanya beberapa tahun lebih tua dari saya, tapi saya pun tak ingin berbuat sesuatu tanpa sepengetahuannya, diam-diam macam begitu. Maka saya lalu menulis surat kepadanya. Saya alamatkan ke Bordeaux, tempat kantor cabang perusahaannya di Prancis. Tapi surat itu dikembalikan pada saya dan tiba pada pagi hari pernikahan kami itu.”
“Surat itu tak sampai kepadanya?”
“Ya, sir, karena dia telah kembali ke Inggris sebelum surat itu tiba.”
“Ha! Sayang sekali. Dan pernikahan Anda direncanakan pada hari Jumat. Rencananya mau diadakan di gerejakah?”
“Ya, sir, tapi secara diam-diam. Upacaranya di Gereja St. Saviour, dekat King’s Cross, dan rencananya kami akan makan pagi bersama sesudah itu di Hotel St. Pancras. Hosmer menjemput Ibu dan saya dengan kereta, tapi karena tempatnya tidak cukup, dia lalu mempersilakan kami menaiki kereta itu, sedang dia sendiri naik kereta lain yang kebetulan lewat di jalan. Kami sampai lebih dulu, dan ketika kereta yang ditumpanginya tiba di gereja, kami pun menunggunya keluar dari kereta itu. Tapi dia tak keluar-keluar. Ketika kusir kereta turun dan melihat ke tempat duduk penumpang di belakangnya, ternyata tak ada orang di situ! Kusir itu tak bisa membayangkan apa yang telah terjadi pada penumpangnya, karena dia tadi melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika penumpangnya menaiki keretanya. Itu terjadi hari Jumat yang lalu, Mr. Holmes, dan sejah itu saya tak pernah melihat atau menerima suratnya lagi. Jadi, saya tak tahu apa yang terjadi pada dirinya.”
“Nampaknya Anda telah dipermainkan oleh pria itu,” kata Holmes.
“Oh, tidak, sir! Dia itu sangat baik, tak mungkin akan meninggalkan saya seperti itu. Bahkan paginya dia terus-menerus mengatakan pada saya bahwa apa pun yang akan terjadi, saya harus tetap setia kepadanya, dan bahwa jika sesuatu yang tak terduga tiba-tiba memisahkan kami, saya harus tetap mengingat bahwa saya telah bertunangan dengannya, dan bahwa dia akan menagih saya suatu saat nanti. Rasanya aneh, membicarakan hal seperti itu menjelang pernikahan kami, tapi apa yang kemudian terjadi membuat saya mengerti maksudnya.”
“Ya, begitulah. Jadi menurut Anda, dia telah mengalami musibah yang tak terduga itu?”
“Ya, sir. Saya yakin dia sudah merasakan akan datangnya bahaya itu, karena kalau tidak, dia pasti takkan berbicara seperti itu kepada saya sebelumnya. Lalu, menurut saya, apa yang ditakutkannya itu benar-benar jadi kenyataan.”
“Tapi, Anda tak tahu musibah macam apakah itu?”
“Tidak.”
“Satu pertanyaan lagi. Bagaimana ibu Anda menghadapi semua ini?”
“Dia marah, dan mengatakan pada saya sebaiknya masalah ini tak diungkit-ungkit lagi.”
“Dan Ayah Anda? Apakah Anda menceritakan semua itu kepadanya?”
“Ya, dan nampaknya dia sepaham dengan saya, bahwa pasti telah terjadi sesuatu, dan bahwa menurutnya Hosmer pasti akan mengirim kabar kepada saya. Dia juga menambahkan, apa untungnya seorang pria mengajak saya menikah lalu meninggalkan saya begitu saja? Seandainya dia telah meminjam uang saya, atau kalau dia sudah menikah dengan saya dan menguasai uang saya lalu dia baru menghilang, itu cukup beralasan. Tapi Hosmer tak pernah mengalami kesulitan keuangan, dan tak pernah berminat pada uang saya sedikit pun. Jadi, apa yang telah terjadi, ya? Dan mengapa dia tak kunjung mengirim berita? Oh, saya jadi hampir gila kalau memikirkan hal itu! Dan saya tak bisa tidur barang sekejap pun kalau malam.” Dia menarik sebuah saputangan kecil dari sarung tangannya dan mulai menangis tersedu-sedu.
“Saya akan menangani kasus Anda,” kata Holmes sambil berdiri, “dan saya yakin kami akan berhasil. Percayakan masalah ini pada saya sekarang, dan jangan Anda pikirkan lagi. Dan yang paling penting, lupakan saja Mr. Hosmer Angel dan apa yang telah diperbuatnya kepada Anda.”
“Kalau begitu, menurut Anda, saya tak akan bertemu dengannya lagi?”
“Saya kuatir, begitulah adanya.”
“Lalu apa yang telah terjadi pada dirinya?”
“Saya akan mencari jawaban atas pertanyaan Anda itu. Saya perlu gambaran dirinya secara saksama, dan surat-surat yang dikirimkannya kepada Anda.”
“Saya memasang iklan di surat kabar Chronicle hari Sabtu yang lalu,” katanya. “Saya bawa iklan itu bersama keempat surat darinya.”
“Terima kasih. Dan alamat Anda?”
“31 Lyon Place, Camberwall.”
“Saya tahu Anda tak punya alamat Mr. Angel. Di mana alamat kantor ayah Anda?”
“Westhouse & Morbank, importir anggur merah Prancis yang cukup besar. Alamatnya di Fenchurch Street.”
“Terima kasih. Penuturan Anda jelas sekali. Tinggalkan surat-surat itu di sini, dan ingat pesan saya. Biarlah semua kejadian ini menjadi buku yang tertutup rapat, dan jangan sampai mempengaruhi kehidupan Anda.”
“Anda baik sekali, Mr. Holmes, tapi saya tak mungkin bisa melakukan pesan Anda. Saya akan tetap setia pada Hosmer. Kalau suatu saat dia kembali, saya akan siap menerimanya.”
Walaupun topinya gila-gilaan dan wajahnya hampa, tak bisa tidak kami mengagumi keyakinannya yang lugu dan mulia itu. Dia menaruh surat-surat itu di meja, lalu meninggalkan ruangan kami sambil berjanji dia akan datang lagi kalau Holmes memanggilnya.
Sherlock Holmes duduk terdiam selama beberapa menit, jari-jarinya tetap terkatup, kakinya diselonjorkannya, dan pandangannya menghunjam ke langit-langit ruangan. Lalu, diambilnya pipa tanah liat yang berminyak dari rak di atasnya. Pipa inilah penasihatnya. Setelah menyulutnya, dia kembali duduk sambil menyandarkan bahunya di kursi. Lingkaran-lingkaran asap yang tebal dan berwarna biru mengepul di atas wajahnya yang nampak lesu.
“Wanita itu merupakan obyek penyelidikan yang menarik,” katanya. “Dirinya lebih menarik dari masalahnya yang cuma sepele dan klasik. Kau akan banyak menemukan kasus-kasus semacam itu kalau kau periksa kartu indeksku yang menunjukkan nama Andover ’77, dan lagi pada The Hague tahun lalu. Idenya kuno, tapi ada satu-dua rincian yang baru bagiku. Namun dari diri wanita itulah lebih banyak kutarik pelajaran.”
“Kau nampaknya memperoleh banyak hal dari penampilannya, yang tak kelihatan olehku,” komentarku.
“Bukannya kelihatan, tapi kaulah yang tak memperhatikan, Watson. Kau tak tahu mana yang perlu dilihat, sehingga semua hal yang penting terlewatkan olehmu. Aku tak akan pernah bisa menyadarkanmu betapa pentingnya memperhatikan lengan baju, kuku jempol, atau pun tali sepatu. Nah, apa yang kau dapatkan dari penampilan wanita itu? Jelaskanlah.”
“Yah, dia memakai topi jerami yang lebar berwarna abu-abu kebiruan dengan hiasan bulu merah bata. Jaketnya hitam, bertaburkan manik-manik dan hiasan pinggir berwarna hitam pula. Gaunnya coklat, lebih gelap dari warna coklat kopi. Bagian leher dan lengan gaun itu berhiaskan bulu-bulu ungu. Sarung tangannya keabu-abuan, dan pada bagian telunjuk kanannya robek. Aku tak memperhatikan sepatunya. Dia mengenakan anting-anting emas kecil berbentuk bulat yang menggantung di telinganya. Penampilannya bak orang kaya, tapi gayanya santai, seenaknya, dan agak kampungan.”
Sherlock Holmes bertepuk tangan dengan lembut sambil tergelak.
“Hebat, Watson, kau telah mengalami kemajuan besar. Kau benar-benar telah melakukan pengamatanmu dengan baik. Memang benar, hal-hal yang penting telah terlewatkan olehmu, tapi paling tidak kau telah tahu cara kerjamu, dan kau sangat peka terhadap warna. Jangan percaya pada kesan-kesan umum, teman, tapi carilah hal-hal yang terperinci. Kalau aku, yang pertama kali kuperhatikan dari seorang wanita adalah lengan bajunya. Sedang pada pria, mungkin lebih baik memperhatikan lutut celananya dulu. Sebagaimana kaulihat, wanita ini berhiaskan bulu di lengan bajunya, dan hal ini meninggalkan jejak yang penting. Ada dua lekukan agak di atas pergelangan tangannya. Ini jelas menunjukkan bahwa dia seorang juru ketik, karena di bagian itulah tangannya menekan meja. Seandainya dia seringmenjahit dengan mesin jahit yang masih dijalankan dengan tangan, bisa juga timbul lekukan seperti itu, tapi hanya di tangan sebelah kiri dan agak lebih jauh dari ibu jari. Tapi itu tak terjadi. Aku lalu memperhatikan wajahnya, dan kulihat ada tanda bekas kacamata di hidungnya. Itulah sebabnya aku lalu berkesimpulan bahwa dia menderita rabun dekat, dan pekerjaannya mengetik. Ternyata dugaanku membuatnya terheran-heran.”
“Aku juga heran tadi.”
“Tapi, bukankah hal itu sangat jelas terlihat? Kemudian aku lebih tertarik untuk memperhatikan sepatunya. Walaupun sepatu itu cocok pasangannya, tapi ada yang aneh. Yang satu ada semacam hiasan penutup di depannya, sedangkan yang sebelahnya tidak. Yang satu hanya dua dari lima kancing bagian bawahnya yang dikatupkan, sedangkan sebelahnya ada tiga kancing yang dikatupkan, yaitu kancing yang pertama, ketiga, dan kelima. Nah, kalau kau melihat seorang wanita muda yang pakaiannya rapi, tapi sepatunya aneh begitu, yaitu tak sepenuhnya dikatupkan kancingnya, kesimpulannya pasti karena dia sedang terburu-buru.”
“Lalu apa lagi?” tanyaku dengan penuh minat, sebagaimana biasanya kalau dia sedang mengemukakan kesimpulan-kesimpulannya yang jitu.
“Secara sambil lalu aku memperhatikan bahwa setelah berpakaian, dia lalu menulis sesuatu sebelum dia pergi. Kau lihat, kan, bahwa sarung tangannya robek di bagian telunjuk kanannya? Tapi kau tak memperhatikan bahwa ada bekas tinta pada kaus tangan dan jarinya. Jadi waktu menulis tadi, dia amat terburu-buru sehingga terlalu dalam memasukkan penanya ke botol tinta. Bekas tinta itu pasti baru saja sejak tadi pagi, karena bekasnya begitu kentara di jarinya. Semua rincian ini menyenangkan, ya, walaupun sepele-sepele saja? Tapi aku harus segera kembali bekerja, Watson. Tolong bacakan iklan yang berhubungan dengan Mr. Hosmer Angel itu!”
Sobekan iklan itu kudekatkan ke lampu. “Berita Kehilangan,” begitu judulnya. “Telah hilang sejak tanggal 14 pagi, seorang pria bernama Hosmer Angel. Tinggi badan kira-kira 170 cm, berbadan kekar, kulit berwarna pucat, rambut hitam, tengahnya agak botak, bercambang dan berkumis lebat, berkacamata hitam, dan bicaranya lembut. Terakhir terlihat mengenakan jas panjang hitam berlapis sutera, dengan rompi hitam, rantai emas bermerek Albert, celana wol abu-abu buatan Harris, dan bersepatu lars coklat dengan elastik di pinggirnya. Bekerja di sebuah kantor di Leadenhall Street. Kalau ada yang bisa memberikan keterangan… dst.”
“Penjelasan iklan itu ada manfaatnya,” kata Holmes. Sedangkan surat-surat itu,” lanjutnya sambil menoleh ke meja, “tak ada yang luar biasa. Tak memberi penjelasan apa-apa tentang Mr. Angel, kecuai bahwa dia pernah sekali mengutip kata-kata Balzac. Tapi ada satu hal yang menarik yang pasti akan membuatmu terkejut.”
“Surat-surat itu ternyata diketik,” komentarku.
“Bukan cuma itu, tapi tanda tangannya pun diketik. Coba lihat tulisan ‘Hosmer Angel’ yang kecil dan rapi di bagian bawah. Ada tanggalnya, tapi tak ada alamat yang jelas. Hanya disebutkan Leadenhall Street. Bahwa tanda tangannya diketik, itu pasti memberikan suatu petunjuk, bahkan kita bisa menarik kesimpulan dari hal itu.”
“Kesimpulan apa?”
“Sobatku, masakan kau masih tak tahu betapa pentingnya hal itu sehubungan dengan kasus yang sedang kita tangani?”
“Apa, ya? Mungkin agar penulis surat itu bisa menyangkal bahwa dialah yang menanda tangani surat itu, kalau-kalau dia melanggar sesuatu yang dijanjikannya dalam surat itu.”
“Bukan. Bukan itu maksudnya. Tapi, biar aku menulis dua pucuk surat yang akan menyelesaikan masalah ini. Satu surat akan kutujukan kepada sebuah kantor di City*1, yang satunya lagi kepada ayah tiri wanita muda itu, Mr. Windibank, yang isinya meminta agar dia datang kemari jam enam sore besok. Kita akan berhubungan bisnis dengannya. Dan sekarang, Dokter, tak ada lagi yang bisa kita lakukan sampai kita menerima balasan kedua surat itu. Jadi, untuk sementara kita lupakan saja masalah ini.
Aku benar-benar mengagumi kemampuan temanku dalam mempertimbangkan suatu masalah dan kecepatannya bertindak. Seperti saat ini, aku yakin dia sudah menemukan pemecahan atas kasus ini, dilihat dari sikapnya yang meyakinkan dan santai. Hanya sekali dia pernah gagal, yaitu dalam kasus foto Raja Bohemia yang disimpan oleh Irene Adler. Mengingat dia berhasil memecahkan kasus-kasus aneh macam Sign of Four dan Study in Scarlet, aku berani memastikan bahwa cuma kasus-kasus yang betul-betul misterius yang tak mampu ditanganinya.
Kutinggalkan temanku yang masih asyik menyedot pipanya di kamarnya. Aku yakin, besok sore kalau aku menemuinya lagi, dia pasti akan sudah menemukan petunjuk tentang hilangnya pengantin laki-laki yang seharusnya bersanding dengan Miss Mary Sutherland itu.
Waktu itu aku pun sedang menghadapi kasus berat dengan seorang pasienku. Sepanjang hari keesokan harinya, aku harus menungguinya. Baru pada hampir jam enam sore aku bebas dari tugasku. Aku langsung memanggil kereta, dan menuju ke Baker Street. Aku merasa cemas, jangan-jangan aku sudah terlambat untuk mendampingi temanku pada saat dia membongkar misteri kecil itu. Tapi ketika sampai di sana, Sherlock Holmes kudapati masih sendirian di kamarnya, dalam keadaan setengah tidur. Tubuhnya yang jangkung dan kurus melingkar di kursi. Sederet botol dan tabung percobaan kimia, dan bau asam chlorida yang menyengat di sekitarnya, menunjukkan bahwa telah sepanjang hari dia menekuni kegiatan kimia yang sangat disukainya itu.
“Nah, apakah kau sudah berhasil menyelesaikannya?” tanyaku ketika aku masuk ke kamarnya.
“Ya, sudah. Hasilnya barit-bisulfat.”
“Bukan, bukan. Maksudku, misteri itu!” teriakku.
“Oh, itu! Kukira kau menanyakan tentang garam kimia yang kuhasilkan. Tak ada misteri dalam kasus itu. Cuma beberapa rinciannya saja yang cukup menarik. Kemarin sudah kukatakan itu, kan? Hanya sayangnya, hukum takkan bisa menangkap pelaku kejahatan itu.”
“Siapa penjahatnya? Dan untuk apa Mr. Angel itu meninggalkan Miss Sutherland begitu saja?”
Pertanyaanku masih belum selesai, dan Holmes belum sempat menjawab apa-apa, ketika kami mendengar langkah-langkah berat di luar, lalu ketukan di pintu kamar kami.
“Ini pasti ayah tiri wanita itu, Mr. James Windibank,” kata Holmes. “Dia membalas suratku dan berjanji akan kemari pada jam enam. Silakan masuk!”
Pria yang memasuki ruangan kami berbadan tegap, namun tingginya sedang-sedang saja. Umurnya tiga puluhan, wajahnya tercukur bersih, kulitnya pucat, gayanya lemah lembut tapi licik, dan matanya yang tajam berwarna abu-abu. Dia menatap kami satu per satu dengan penuh tanda tanya, menaruh topinya yang berkilauan di meja samping, dan setelah membungkuk sejenak, dia mengambil tempat duduk yang terdekat.
“Selamat sore, Mr. James Windibank,” kata Holmes. “Saya rasa Andalah yang menulis surat ketikan ini, yang menyatakan bahwa Anda akan datang jam enam!”
“Ya, sir. Maaf, saya agak terlambat. Maklumlah banyak urusan yang harus saya tangani. Saya juga minta maaf karena Miss Sutherland telah merepotkan Anda dengan masalah kecil ini, karena menurut saya sebenarnya dia tidak perlu menceritakan hal ini kepada orang lain. Saya sudah mencegahnya agar tak usah menemui Anda, tapi sebagaimana Anda pun tentunya memahami juga, dia itu gadis yang emosional dan gampang menuruti kata hatinya begitu saja. Kalau sudah berniat berbuat sesuatu, dia tak bisa dicegah. Tentu saja, saya tak terlalu keberatan kalau dia menemui Anda, karena Anda toh tak ada hubungannya dengan polisi. Tapi benar-benar tak enak kalau masalah keluarga sampai terbawa ke luar. Di samping itu, percuma saja semua usahanya itu, toh tak akan ada yang bisa menemukan pria bernama Hosmer Angel itu. Bukankah demikian?”
“Justru sebaliknya,” kata Holmes dengan kalem, “saya sangat yakin akan berhasil menemukan Mr. Hosmer Angel.”
Mr. Windibank terkejut sekali mendengar hal itu sampai sarung tangannya terjatuh ke lantai. “Wah, saya senang sekali mendengarnya,” katanya.
“Kalau Anda perhatikan,” lanjut Holmes, “setiap mesin tik itu unik, masing-masing mempunyai ciri tersendiri sama halnya dengan tulisan tangan manusia. Tak ada dua mesin ketik yang hasil tulisannya persis sama, kecuali kalau mesin-mesin itu betul-betul baru. Misalnya, ada yang beberapa hurufnya tak sejelas huruf lainnya, dan ada beberapa huruf yang hanya jelas sebagian. Nah, coba lihat surat Anda ini, Mr. Windibank. Semua huruf 'e'-nya tak jelas, dan semua huruf 'r'-nya terputus di bagian ekornya. Ada empat belas ciri lain, tapi dua itu yang paling mencolok.”
“Semua surat di kantor saya ditulis dengan mesin tik yang satu ini, tak heran kalau beberapa hurufnya kurang jelas karena terlalu sering dipakai,” jawab tamu kami sambil menatap Holmes dengan matanya yang tajam dan bersinar-sinar.
“Dan sekarang, saya mau menunjukkan hasil penyelidikan saya yang sangat menarik, Mr. Windibank,” lanjut Holmes. “Mungkin kapan-kapan saya akan menulis risalah tentang mesin tik dalam hubungannya dengan tindakan-tindakan kriminal. Sudah cukup lama saya menekuni hal begituan. Nah, saya mempunyai empat surat yang dikirim oleh orang yang menghilang itu. Keempatnya, semua huruf 'e'-nya tak jelas dan semua huruf 'r'-nya terputus di bagian ekornya. Dan kalau Anda melihatnya di bawah kaca pembesar, maka empat belas ciri lainnya yang tadi saya katakan juga cocok semua.”
Mr. Windibank terlompat dari kursinya, dan memungut topinya. “Saya tak mau buang-buang waktu hanya membicarakan hal-hal yang tak masuk akal ini, Mr. Holmes,” katanya. “Kalau Anda bisa menangkap pria itu, tangkaplah, dan kabari saya.”
“Pasti,” kata Holmes sambil melangkah ke depan dan mengunci pintu kamarnya. “Nah, kalau begitu saya ingin memberitahukan bahwa saya telah menangkap orang itu!”
“Apa? Mana dia?” teriak Mr. Windibank. Wajahnya menjadi pucat pasi dan dia melongok-longok ke sekeliling ruangan bagaikan tikus yang telah masuk perangkap.
“Oh, tak perlu berpura-pura lagi..., percuma,” kata Holmes dengan sopan. “Anda tak mungkin menghindar lagi, Mr. Windibank. Sudah tertangkap basah, kok. Dan Anda menghina saya dengan mengatakan bahwa saya tak mungkin bisa memecahkan masalah yang sepele begini. Begitulah! Silakan duduk lagi, dan mari kita bicarakan masalah ini.”
Tamu kami menjatuhkan diri ke kursi dengan wajah ketakutan dan keringat membasahi dahinya. “Saya... saya tak bisa dituntut di pengadilan,” katanya terbata-bata.
“Memang. Tapi bagiku, Windibank, perbuatanmu itu benar-benar kejam, egois, keji, dan picik. Nah, sekarang biarlah aku memerinci rangkaian peristiwanya, dan kalau ada yang tak cocok silakan perbaiki.”
Pria itu terhenyak di kursinya, kepalanya tertunduk, bagaikan orang yang benar-benar hancur lebur. Holmes menginjakkan salah satu kakinya di sudut perapian sambil menyandar. Kedua tangannya dimasukkannya ke saku celananya, lalu dia mulai berkisah, seolah-olah kepada dirinya sendiri dan bukannya kepada kami yang mendengarkannya.
“Ada seorang pria menikah dengan seorang wanita yang umurnya jauh lebih tua dari dirinya, demi uang,” katanya. “Dia enak-enak hidup dengan uang yang seharusnya menjadi milik anak perempuan tirinya, selama gadis itu tinggal bersama mereka. Jumlah uang itu cukup banyak bagi orang-orang sederajat mereka, dan tanpa uang itu payahlah hidup mereka. Jadi, harus diupayakan agar dana itu tetap mengalir seperti biasa. Gadis itu sangat baik hatinya, hangat, dan penuh kasih sayang. Maka bisa dimengerti kalau tak lama lagi dia pasti akan mendapat pasangan hidup. Kalau dia menikah, maka dana seratus pound itu tak akan didapat lagi oleh ibu dan ayah tirinya. Mereka lalu berusaha menghalanginya. Bagaimana caranya? Ayah tiri itu melarangnya bepergian dan bergaul dengan teman-teman sebayanya. Tapi dia pun menyadari bahwa hal itu tak akan berlangsung lama. Gadis itu mulai berontak, karena dia sadar akan hak-haknya, dan malah dia nekat mau pergi ke pesta dansa. Lalu, apa yang dilakukan ayah tirinya yang cerdik itu? Dia membuat rencana yang hebat secara rasio, tapi sungguh tak berperikemanusiaan. Dengan bantuan istrinya dia menyamar. Matanya ditutupi dengan kacamata gelap, wajahnya ditempeli kumis dan jenggot, suaranya dibuat lemah seperti suara orang berbisik, dan semua penyamarannya itu menjadi lebih mudah karena gadis itu menderita rabun dekat. lalu jadilah dia Mr. hosmer Angel, dan mulai memainkan perannya sebagai seorang kekasih.”
“Kami cuma bergurau pada awalnya,” rintih tamu kami. “Kami sama sekali tak menduga bahwa gadis itu akan terhanyut.”
“Mungkin saja. Tapi ternyata gadis itu benar-benar terpikat. Dan karena dia tahu ayah tirinya sedang berada di Prancis, maka dia tak merasa curiga sedikit pun. Dia terkesan oleh perhatian sang kekasih, lebih-lebih lagi ibunya pun ikut mengagumi pria itu. Lalu, Mr. Angel mulai berkunjung, karena hubungan mereka harus diusahakan sekarab mungkin, kalau ingin berhasil. Mereka saling bertemu, berjalan-jalan berdua, bertunangan, sehingga perhatian gadis itu hanya tercurah pada pria idaman hatinya itu. Tapi penyamaran itu tak bisa berlangsung untuk selamanya. Kunjungan pura-pura ke Prancis yang sering dilakukan sang ayah pasti lama-kelamaan akan agak mencurigakan. Penyamaran ini harus diakhiri secara dramatis sehingga akan meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada diri sang gadis, supaya dia tak akan punya minat untuk mendekati pria lain. Maka mereka pun mengikrarkan janji setia di atas Alkitab, juga sang pria lalu mengoceh macam-macam pada pagi hari sebelum pemberkatan pernikahan yang direncanakan di gereja itu. James Windibank ingin agar Miss Sutherland benar-benar merasa terikat pada Hosmer Angel yang nasibnya akan dibuat tak menentu itu, sehingga paling tidak selama sepuluh tahun kemudian, gadis itu tak akan berkencan dengan pria lain. Pria itu tega-teganya menggiring gadis itu sampai pintu gereja, lalu karena dia tak mungkin bertindak lebih jauh lagi, dia menghilang begitu saja dengan cara yang sudah usang, yaitu naik ke kereta, tapi lalu melompat keluar dari pintu lain. Kurasa begitulah jalan ceritanya, Mr. Windibank!”
Rupanya rasa percaya diri tamu kami sedikit demi sedikit pulih sementara Holmes berkisah tadi. Kini ia bangkit dari kursinya sambil menyeringai dingin.
“Bisa saja begitu, tapi bisa juga tidak, Mr. Holmes,” katanya, “tapi kalau Anda memang jeli, Anda pun akan merasa bahwa justru Andalah yang sedang melanggar hukum, bukan saya. Sejak awal saya tak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, tapi kalau Anda tak mengizinkan saya pergi dari kamar ini karena pintunya Anda kunci, Anda bisa dituduh telah melakukan penganiayaan dan penahanan secara tidak sah.”
“Kau bilang, hukum tak bisa mengejarmu,” kata Holmes sambil membuka kunci, lalu membuka pintu kamarnya, “tapi kau pantas dihukum. Saudara atau teman gadis itu boleh saja memecut punggungmu. Sialan, kau!” lanjutnya dengan wajah merah padam ketika melihat tamunya menyeringai. “Ini memang bukan bagian dari tugas yang harus kulakukan demi klienku, tapi kebetulan ada cemeti disini, dan rasanya aku ingin melakukan ini demi... “ Dia maju dua langkah untuk menggapai cemetinya, tapi sebelum dia berhasil meraihnya, terdengar suara gedebag-gedebug di tangga, lalu suara pintu depan dibanting, dan dari jendela kamar kami bisa melihat Mr. James Windibank lari terbirit-birit meninggalkan tempat kami.
“Dia itu bajingan berdarah dingin!” kata Holmes sambil tertawa. Dia kembali duduk di kursinya. “Dia tak akan berhenti berbuat jahat sampai dibawa ke tiang gantungan. Kalau dipikir-pikir, kasus ini menarik juga.”
“Aku masih tetap tak mengerti bagaimana kau bisa mendapatkan semua kesimpulanmu itu,” gumamku.
“Yah, tentu saja sejak awal sudah jelas bahwa tindakan Mr. Hosmer Angel yang aneh itu didorong oleh tujuan tertentu. Dan cukup jelas pula bahwa orang yang mendapatkan keuntungan dari semuanya ini adalah sang ayah tiri itu. Lalu ternyata dua pria itu tak pernah terlihat pada saat yang bersamaan. Salah satu muncul di saat yang lain menghilang. Bukankah kita bisa mengambil kesimpulan dari kenyataan ini? Lalu kacamata gelap dan suaranya yang aneh itu. Bukankah itu tanda adanya penyamaran? Ditambah lagi dengan jenggot lebat. Kecurigaanku makin memuncak dengan munculnya tanda tangan yang diketik itu. Artinya, tulisan tangannya pasti akan dikenali oleh gadis itu. Fakta-fakta yang saling terpisah ini, ditambah dengan detil-detil lainnya, semuanya memberi petunjuk ke arah yang sama.”
“Dan bagaimana kau membuktikan semua itu?”
“Setelah menemukan tersangka, tak sulit bagiku untuk menguatkan semua teoriku. Aku tahu alamat kantor tempat Mr. Windibank bekerja. Setelah mendapatkan gambaran tentang orang bernama Hosmer Angel itu, aku mulai menghilangkan apa-apa yang mungkin dipakai sebagai alat penyamarannya---jenggot, kacamata, suara, dan lalu hasilnya kukirim ke kantor itu. Aku minta agar mereka memberitahukum kalau gambaran orang yang kuberikan cocok dengan salah satu pegawai bagian penjualan mereka. Aku pun mengamati keunikan mesin tik itu, lalu kusurati Mr. Windibank, memintanya datang kemari. Surat itu kualamatkan ke kantornya. Seperti yang kuharapkan, balasan darinya diketik, dan ternyata hasil ketikan itu menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan surat Mr. Hosmer Angel. Surat lain kuterima dari PT Westhouse & Marbank yang beralamat di Fenchurch Street, yang menggambarkan bahwa gambaran yang kuberikan cocok sekali dengan pegawai mereka yang bernama James Windibank. Nah, kan?”
“Bagaimana dengan Miss Sutherland?”
“Kalau kuceritakan padanya, dia pasti takkan percaya. Ingatkah kau akan pepatah Persia kuno yang mengatakan, ‘Bahaya sekali merenggut anak singa dari induknya, sama bahayanya dengan merenggut angan-angan indah dari seorang gadis.’ Masuk akal juga apa yang dikatakan oleh Hafiz* itu; dia memang sama bijaknya dengan Horace**.”
***
1* bagian kota London yang tertua, yang merupakan pusat perdagangan dan keuangan.
**penyair Persia.
***penyair, satiris, moralis, sekaligus kritikus yang hidup pada zaman Romawi kuno.

Perkumpulan Orang Berambut Merah


Suatu hari di musim gugur tahun lalu, aku mampir ke tempat temanku, Sherlock Holmes. Saat itu dia sedang berbincang-bincang dengan seorang pria tua gemuk yang wajahnya kemerah-merahan dan rambutnya juga berwarna merah menyala. Aku langsung minta maaf atas kehadiranku yang telah memutuskan percakapan mereka dan hendak beranjak pergi. Tapi Holmes menarikku masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintu di belakangku.
“Kau justru datang tepat pada waktunya, sobatku Watson,” katanya dengan ramah.
“Kukira kau sedang ada urusan.”
“Memang demikian.”
“Itulah, biarlah aku menunggu dulu di ruang sebelah.”
“Tak perlu. Teman saya ini, Mr. Wilson, adalah rekan sekerja saya yang sudah sangat banyak membantu keberhasilan kasus-kasus yang saya tangani. Dan saya yakin dia pun akan sangat membantu saya dalam menangani kasus Anda ini.”
Pria gemuk itu agak berdiri dari kursinya dan mengangguk kepadaku sambil matanya yang sipit karena dipenuhi lemak di sekitarnya, sekilas mencuri pandang kepadaku dengan penuh tanda tanya.
“Silakan duduk,” kata Holmes sambil menjatuhkan dirinya di kursi berlengan. Dikatupkannya ujung-ujung jari kedua tangannya sebagaimana selalu dilakukannya kalau sedang serius. “Aku tahu, sobatku Watson, bahwa kau juga menyukai hal-hal yang ganjil dan tak biasa sebagaimana diriku. Ya, kau juga menunjukkan minat ke arah itu, terbukti dari kegesitanmu untuk menuangkan dan membumbui petualangan-petualangan kecilku dalam bentuk tulisan.”
“Kasus-kasusmu benar-benar sangat menarik perhatianku,” jawabku.
“Kauingat aku pernah berkata, sebelum kita menangani kasus kecil Miss Mary Sutherland, bahwa hidup ini jauh lebih aneh daripada apapun yang dapat kita khayalkan?”
“Aku sempat meragukan hal itu.”
“Ya, Dokter, tapi mau tak mau kau pasti akan menyetujui pandanganku, karena kalau tidak aku akan menimbun dulu fakta demi fakta sampai terbukti bahwa alasanmu ternyata salah dan alasankulah yang benar. Nah, Mr. Jabez Wilson ini telah menyempatkan diri untuk menemuiku pagi ini, dan dia akan melanjutkan mengisahkan sesuatu yang cukup unik. Sebagian kisahnya sudah diceritakan padaku tadi. Kau sudah dengar komentari bahwa hal-hal yang sangat aneh dan unik sering berhubungan dengan kejahatan-kejahatan yang sepele, dan kadang-kadang kita jadi ragu-ragu apa benar telah terjadi suatu tindak kejahatan. Sejauh pengetahuanku, tak mungkin aku bisa langsung mengatakan apakah kasus ini merupakan tindak kejahatan atau tidak. Tapi rangkaian kejadiannya termasuk yang paling unik yang pernah kudengar. Silakan, Mr. Wilson, Anda ulangi penuturan Anda. Bukan hanya supaya teman saya Dr. Watson dapat ikut mengetahuinya, tapi juga supaya saya bisa lebih memahami detail-detail ceritanya yang cukup aneh itu. Biasanya, kalau berhasil menemukan sedikit petunjuk saja dari rangkaian suatu kejadian, maka saya akan segera membandingkannya dengan kasus-kasus lain yang serupa. Tapi sampai saat ini, saya harus mengakui bahwa fakta-fakta kasus ini ternyata sangatlah unik.”
Klien kami yang gemuk itu menggembungkan dadanya karena bangga, sambil menarik sebuah surat kabar yang kotor dan lecek dari saku dalam jasnya. Ketika dia sedang mencari-cari di bagian iklan, dengan kepala tertunduk dan surat kabar diluruskan di atas lututnya, aku memperhatikan dengan saksama dan berusaha menyimpulkan suatu petunjuk dari cara berpakaian dan penampilannya.
Tapi inspeksiku tak membawa banyak hasil. Tamu kami ini tak banyak berbeda dari kebanyakan pedagang Inggris. Gemuk, agak sombong, dan lamban. Celananya agak longgar berwarna abu-abu. Jas panjangnya yang berwarna hitam tak terlalu bersih dan bagian depannya tak dikancingkannya. Penutup pinggangnya dilengkapi sabuk kuning yang berhiaskan gantungan logam berbentuk persegi. Topinya yang berjumbai, mantel luarnya yang berwarna coklat pudar, dan syal beludrunya yang sudah kusut, tergeletak di kursi sebelahnya. Kesimpulanku dari apa yang kulihat ini ialah bahwa tak ada yang luar biasa pada orang ini, kecuali rambutnya yang berwarna merah menyala dan rasa kekecewaan yang mendalam.
Mata Sherlock Holmes yang jeli menangkap inspeksi yang kulakukan, dan dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum melihat kebingunganku. “Selain fakta-fakta yang cukup jelas bahwa dia pernah bekerja kasar selama beberapa saat, pengisap tembakau yang sudah dihaluskan, anggota sebuah perkumpulan pekerja, pernah ke Cina, dan akhir-akhir ini banyak menulis, tak ada lagi yang bisa kusimpulkan.”
Mr. Jabez Wilson menegakkan duduknya. Telunjuknya terletak di surat kabar itu, tapi matanya menatap temanku.
“Bagaimana gerangan Anda bisa tahu semua itu, Mr. Holmes?” tanyanya. “Bagaimana Anda bisa tahu, misalnya, bahwa saya pernah melakukan pekerjaan kasar? Memang benar apa kata Anda, saya mulai bekerja sebagai tukang kayu di kapal.”
“Tangan Anda, sir. Tangan kanan Anda jauh lebih besar dibanding yang kiri. Berarti Anda telah memakainya untuk bekerja keras. Otot-ototnya juga lebih besar.”
“Kalau tentang pengisap tembakau dan anggota perkumpulan itu?”
“Maaf, bila saya menyinggung perasaan Anda kalau saya katakan bahwa saya tahu itu dari jepit di dada Anda yang bisa juga dipakai sebagai korek api dan kompas itu.”
“Ah, tentu saja, saya tak ingat hal itu. Tapi tentang kegiatan menulis saya?”
“Lihat kancing manset baju Anda yang sebelah kanan. Kelimis sekali selebar dua belas setengah meter. Sedangkan lengan baju Anda yang kiri ada tambalannya dekat siku. Pasti karena bekas gesekan-gesekan di meja.”
“Betul juga. Tapi bagaimana tentang kepergian saya ke Cina?”
“Tato bergambar ikan di atas pergelangan tangan kanan itu hanya mungkin dibuat di Cina. Saya sempat mempelajari sekilas tentang gambar-gambar tato, bahkan pernah menulis artikel tentang hal itu. Warna sisik ikan yang merah jambu itu khas Cina. Koin Cina yang tergantung di rantai jam Anda juga memudahkan saya menebak.”
Mr. Jabez tertawa terbahak-bahak. “Wah, saya tak menduga!” katanya. “Sebelum ini, saya pikir Anda memiliki kemampuan menebak yang hebat sekali, tapi sekarang saya tahu bahwa semuanya itu ternyata cuma begitu saja.”
“Aku mulai berpikir, Watson,” kata Holmes, “sebaiknya aku tak usah menjelaskan apa-apa. ‘Alangkah indahnya sesuatu bagi orang yang tidak mengetahuinya’---begitu kata pepatah, kan? Kasihan amat kemampuanku yang tak seberapa ini menjadi tak dihargai gara-gara aku terlalu tulus. Sudah ketemukah iklannya, Mr. Wilson?”
“Ya, sekarang sudah saya temukan,” jawabnya sambil menunjuk kolom iklan di bagian tengah surat kabar itu dengan jarinya yang gemuk dan merah. “Nih. Gara-gara inilah semuanya terjadi. Silakan Anda baca sendiri, sir.”
Kuambil surat kabar itu dan kubaca iklan yang berbunyi:
Kepada Perkumpulan Orang Berambut Merah---Atas permintaan almarhum Ezekiah Hopkins dari Lebanon, Penn. U.S.A, sekarang ada lowongan pekerjaan lagi bagi anggota perkumpulan ini dengan penghasilan empat pound seminggu hanya untuk pekerjaan yang ringan. Semua anggota yang sehat jasmani dan rohani di atas umur dua puluh satu tahun boleh mendaftar. Harap datang sendiri pada hari Senin, jam sebelas, ke Duncan Ross, di kantor perkumpulan tersebut, Pope’s Court No. 7, Fleet Street.
“Apa gerangan maksudnya ini?” seruku sesudah membaca pengumuman yang aneh itu dua kali berturut-turut.
Holmes tergelak dan menggeliat-geliat di kursinya. Begitulah kebiasaannya kalau sedang gembira hatinya. “Tak mengerti, ya?” katanya. “Nah, Mr. Wilson, sekarang ceritakanlah mengenai diri Anda, kehidupan Anda sehari-hari, dan efek iklan ini pada nasib Anda. Tolong dicatat, Dokter, nama surat kabar itu dan tanggalnya.”
The Morning Chronicle, tanggal 27 April 1890. Baru dua bulan yang lalu.”
“Baiklah. Nah, Mr. Wilson?”
“Yah, seperti yang sudah saya katakan kepada Anda sebelumnya, Mr. Sherlock Holmes,” kata Jabez Wilson sambil mengelap dahinya. “Saya memiliki rumah gadai kecil di Coburg Square, dekat City. Usaha saya ini tak terlalu besar, dan akhir-akhir ini hanya pas-pasan saja untuk menghidupi saya sehari-hari. Dulu saya mempekerjakan dua orang asisten, tapi sekarang tinggal satu. Sebetulnya satu pun terlalu berat bagi saya, tapi dia bersedia digaji hanya separo dari yang seharusnya karena dia ingin belajar tentang usaha pegadaian itu.”
“Siapa nama pemuda yang baik hati ini?” tanya Sherlock Holmes.
“Namanya Vincent Spaulding, dan dia sudah tidak muda lagi. Susah untuk menebak berapa umurnya. Dia melakukan tugasnya sebagai asisten saya dengan baik, Mr. Holmes; dan saya tahu bahwa sebetulnya dia bisa saja pindah kerja untuk mendapatkan gaji dua kali lipat dari yang mampu saya berikan kepadanya. Tapi selama dia masih mau kerja untuk saya dengan gaji sejumlah itu, untuk apa saya menyarankannya pindah?”
“Ya, untuk apa? Nampaknya Anda cukup beruntung bisa mendapatkan pegawai yang mau digaji di bawah standar. Tak banyak yang begitu sekarang ini. Jangan-jangan asisten Anda itu tak sebaik yang Anda ceritakan.”
“Oh, tentu saja dia punya kekurangan,” kata Mr. Wilson. “Dia tergila-gila memotret. Potret sana, potret sini, pada saat dia seharusnya bekerja, lalu menyelinap ke gudang bawah tanah, bagaikan seekor kelinci masuk ke kandangnya, untuk mengafdruk foto-fotonya. Itulah kekurangannya, tapi secara keseluruhan dia seorang pegawai yang baik. Dia tak pernah berbuat jahat.”
“Sekarang tentunya dia masih bekerja di tempat Anda, bukan?”
“Ya. Dan ada juga pegawai lain, seorang gadis berumur empat belas tahun yang memasak dan membersihkan tempat kami. Hanya mereka itu yang ada di rumah saya, karena saya seorang duda yang tak punya anak. Kami hidup dengan tenang, sir, kami bertiga ini; dan kami bertahan hidup seperti ini dari hari ke hari, membayar utang-utang kami, kalau tak ada keperluan lain.
“Satu-satunya hal yang lalu mengacaukan kehidupan kami ialah iklan itu. Delapan minggu yang lalu Spaulding datang ke kantor saya dan menunjukkan surat kabar itu kepada saya sambil berkata,
“’Kalau saja rambut saya berwarna merah, Mr. Wilson….’
“’Kenapa, memangnya?’ tanya saya.
“’Kenapa?’ katanya. ‘Lihat, ada lowongan pekerjaan lagi di Perkumpulan Orang Berambut Merah. Beruntung sekali orang yang diterima bekerja di situ, dan saya dengar lowongan kerja yang ada lebih banyak jumlahnya dibanding orang yang mau bekerja di situ, sehingga para walinya sampai kehilangan akal bagaimana caranya memanfaatkan uang warisan sebanyak itu. Kalau saja warna rambut saya bisa berubah, saya pasti akan mau bekerja di situ.’
“’Kenapa, ada apa sebenarnya?’ tanya saya. Anda tahu, Mr. Holmes, saya tak banyak keluar rumah. Langganan-langganan bisnis sayalah yang mendatangi saya, sehingga kadang-kadang saya tak keluar rumah selama berminggu-minggu. Saya tak tahu banyak tentang apa yang sedang terjadi di luar, dan tentu saja saya senang kalau ada orang yang memberikan informasi kepada saya.
“’Apakah Anda sama sekali belum pernah mendengar tentang Perkumpulan Orang Berambut Merah?’ tanyanya dengan mata terbelalak.
“’Belum.’
“’Aneh, padahal Anda sendiri berambut merah dan bisa mengisi lowongan pekerjaan itu.’
“’Apa untungnya?’ tanya saya.
“’Oh, memang hanya mendapat bayaran beberapa ratus pound setahunnya, tapi pekerjaannya sangat ringan, dan bisa dilakukan sambil tetap bekerja lain.’
“Yah, dapat Anda duga bahwa saya langsung tertarik, karena usaha saya akhir-akhir ini memang tak begitu maju, dan alangkah baiknya kalau ada pemasukan tambahan beberapa ratus pound setahunnya.
“’Coba ceritakan pada saya tentang lowongan pekerjaan itu,’ kata saya.
“’Yah,’ katanya sambil menunjukkan iklan itu, ‘Anda bisa baca sendiri bahwa perkumpulan tu sedang membutuhkan pegawai, alamatnya pun tercantum di sini kalau Anda ingin mendapatkan keterangan lebih lanjut. Sejauh yang saya tahu, perkumpulan ini didirikan oleh seorang jutawan nyentrik Amerika bernama Ezekiah Hopkins itu. Dia memang berambut merah, dan sangat bersimpati pada semua orang yang berambut merah. Waktu dia meninggal, dia mewariskan semua kekayaannya yang amat banyak kepada beberapa wali. Mereka ditugaskan agar memanfaatkan bunga warisan itu untuk memberi kemudahan-kemudahan kepada orang-orang yang warna rambutnya seperti dia. Kabarnya, bayarannya cukup baik dibandingkan pekerjaannya yang amat ringan.’
“’Kalau begitu,’ kata saya, ‘pasti jutaan orang berambut merah bersedia mendaftarkan diri.’
“’Tak sebanyak itu,’ jawabnya. ‘Yang boleh mendaftar hanya penduduk kota London yang sudah dewasa. Jutawan Amerika ini memulai bisnisnya di London waktu dia masih muda, dan dia ingin membalas jasa kepada kota tua ini. Lalu, saya juga mendengar bahwa Anda takkan diterima kalau warna rambut Anda cuma merah muda, atau merah gelap. Yang diterima hanya yang warna rambutnya benar-benar merah menyala. Nah, kalau Anda berminat untukmendaftarkan diri, Mr. Wilson, datang saja ke sana, tapi mungkin juga Anda tak berminat susah-susah keluar rumah hanya untuk beberapa ratus pound saja.’
“Nah, Anda berdua bisa melihat bahwa rambut saya warnanya benar-benar merah menyala. Jadi, kalau saja diadakan perlombaan untuk rambut merah, saya pasti akan menang. Vincent Spaulding banyak tahu tentang perkumpulan itu, sehingga saya mungkin bisa memintanya untuk mengantar saya. Jadi, saya lalu menyuruhnya menutup kantor hari itu, dan menemani saya pergi ke kantor perkumpulan seperti yang diiklankan itu. Dia melakukan semua yang saya perintahkan dengan gembira.
“Rasanya, saya tak mau melihat pemandangan seperti itu lagi, Mr. Holmes. Dari segala penjuru, orang-orang yang berambut merah memenuhi jalanan menuju City untuk mengisi lowongan yang diiklankan itu. Fleet Street dan Pope’s Court dipenuhi orang-orang berambut merah, sehingga pemandangannya bagaikan pasar yang penuh dengan gerobak dagangan buah jeruk. Wah, saya tak akan pernah membayangkan bahwa ada begitu banyak orang berambut merah di negeri ini, kalau saja bukan karena iklan itu. Warna merahnya memang macam-macam; ada yang merah jerami, merah kekuning-kuningan, merah oranye, merah bata, merah coklat, merah hati, merah tanah liat, dan lain-lain. Tapi, sebagaimana dikatakan oleh Spaulding, tak banyak yang warna rambutnya benar-benar merah menyala. Ketika saya melihat begitu banyak orang yang menunggu mendaftar, saya langsung ingin membatalkan niat saya, tapi Spaulding mencegah saya. Bayangkan apa yang dilakukannya! Dia menerobos terus diantara orang-orang yang berjejalan itu dalam upaya untuk mendekati kantor itu. Tangganya terbagi dua jalur. Satu yang merupakan jalan masuk ke atas dipenuhi orang-orang yang harap-harap cemas, satunya lagi yang merupakan jalan keluar menurun yang dipenuhi orang-orang yang ditolak. Kami terus mendesak maju ke depan sekuat tenaga, dan akhirnya kami berhasil masuk ke kantor itu.”
“Pengalaman Anda benar-benar menarik,” komentar Holmes ketika klien kami berhenti berbicara sejenak untuk mengingat-ingat sambil mengisap tembakau halusnya dalam-dalam. “Silakan dilanjutkan kisah Anda yang menarik ini.”
“Tak ada apa-apa di dalam kantor itu kecuali sepasang kursi dan sebuah meja. Di belakang meja itu duduk seorang pria kecil yang warna rambutnya lebih menyala dari warna rambut saya. Dia mengatakan beberapa kata kepada setiap pendaftar yang menemuinya satu per satu, lalu menyebutkan kekurangan pendaftar itu sehingga tak bisa diterima untuk mengisi lowongan pekerjaan yang diiklankan itu. Mencari kerja memang tidak mudah, ya. Tapi waktu tiba giliran kami, pria kecil itu terkesan oleh penampilan saya, sehingga ditutupnya pintu ketika kami masuk supaya dia bisa berbicara secara pribadi kepada kami.
“’Kenalkan, Jabez Wilson,’ kata asisten saya, ‘dia ingin mendaftarkan diri untuk bekerja di perkumpulan ini.’
“’Dia cocok sekali,’ jawab pria kecil itu. ‘Dan memenuhi syarat. Saya tak ingat kapan terakhir saya melihat rambut warna merah menyala yang seindah miliknya.’ Dia mundur selangkah, memalingkan mukanya ke samping, dan menatap rambut saya sedemikian rupa sampai saya jadi malu. Kemudian, tiba-tiba dia maju ke depan, menarik tangan saya, dan menyalami saya dengan hangat karena saya dinyatakan diterima.
“’Untuk menghindari keraguan,’ katanya, ‘perkenankan saya mengecek sebentar.’ Dia langsung menjambak rambut saya dengan kedua tangannya, dan menariknya sampai saya berteriak kesakitan. ‘Mata Anda berair,’ katanya sambil melepaskan rambut saya. ‘Berarti rambut Anda asli. Kami memang harus berhati-hati, karena kami telah dua kali tertipu. Sekali oleh rambut palsu dan kemudian oleh cat rambut. Saya bisa menceritakan kepada kalian tentang lem dari cairan lilin yang bisa memalsukan penampilan alamiah seseorang.’ Dia melangkah menuju jendela, dan berteriak dari situ bahwa lowongan telah terisi. Geraman kekecewaan terdengar dari bawah, dan orang-orang itu segera membubarkan diri ke arah yang berlain-lainan, sampai tak seorang pun yang berambut merah terlihat kecuali diri saya sendiri dan pria kecil itu.
“’Nama saya,’ katanya, ‘Duncan Ross. Saya salah satu pensiunan perwalian yang diberi tugas untuk memanfaatkan dana milik bangsawan dermawan itu. Apakah Anda sudah menikah, Mr. Wilson? Apakah Anda mempunyai keluarga?’
“Saya menjawab tidak.
“Wajahnya jadi murung seketika.
“’Wah!’ katanya dengan muram. ‘Ini benar-benar serius! Maaf, kalau begitu. Di samping untuk memberi bantuan, dana ini juga dimaksudkan untuk melestarikan dan mengembang-biakkan orang-orang berambut merah. Sayang sekali Anda seorang bujangan.’
“Saya merasa sangat kecewa, Mr. Holmes. Saya pikir saya akan ditolak. Tapi setelah berpikir selama beberapa menit, dia berkata bahwa tak ada masalah dan saya tetap diterima.
“’Pada pendaftar lainnya,’ katanya, ‘masalahnya lebih berat, tapi kami harus memberikan kelonggaran kepada seseorang yang rambutnya seindah Anda itu. Kapan Anda bisa mulai masuk kerja?’
“’Yah, bagaimana, ya? Saya punya usaha sendiri,’ kata saya.
“’Oh, itu tidak jadi masalah, Mr. Wilson!’ kata Vincent Spaulding. ‘Akan saya atur.’
“’Bagaimana dengan jam kerja saya?’ tanya saya.
“’Jam sepuluh sampai jam dua.’
“Saat ini usaha pegadaian saya hanya ramai kalau malam, Mr. Holmes, terutama pada hari Kamis dan Jumat malam, sebelum hari gajian; jadi ini cukup baik untuk mengisi kekosongan saya pada pagi hari. Lagi pula asisten saya orangnya baik, sehingga dia bisa saya percayai untuk menjaga usaha saya pada pagi hari.
“’Baiklah,’ kata saya. ‘Dan gajinya?’
“’Empat pound per minggu.’
“’Apa pekerjaan saya?’
“’Benar-benar enteng.
“’Apa maksud Anda dengan benar-benar enteng?’
“’Yah, Anda harus masuk ke kantor, paling tidak ada di sekitar gedung perkantoran ini sepanjang waktu itu. Kalau Anda pergi, Anda akan kehilangan pekerjaan Anda untuk selama-lamanya. Pesan wasiat itu sangat jelas tentang hal ini. Anda dianggap melanggar peraturan kalau Anda keluar dari kantor pada jam-jam yang ditentukan itu.’
“’Cuma empat jam sehari, saya tak akan kemana-mana,’ kata saya.
“Kami tak menerima alasan apa pu,’ kata Mr. Duncan Ross, ‘baik sakit, bisnis, atau apa pun. Pokoknya Anda harus ada di kantor, atau Anda tidak digaji sama sekali.’
“’Apa yang harus saya lakukan?’
“’Menyalin Encyclopedia Britannica. Volume pertama sudah kami siapkan. Anda harus menyediakan tinta, pena, dan kertas tulisnya sendiri. Kami hanya menyediakan meja dan kursi. Apakah Anda mau mulai besok pagi?’
“’Tentu saja,’ jawab saya.
“’Kalau begitu, sampai ketemu besok, Mr. Jabez Wilson, dan sekali lagi selamat atas keberuntungan Anda mendapat pekerjaan ini.’ Dia membungkukkan badan sambil mengantar kami ke luar ruangan, dan saya pun lalu pulang bersama asisten saya. Saya masih belum tahu harus mengatakan apa-apa atau berbuat apa, karena saya masih terlalu gembira atas keberuntungan saya.
“Yah, saya memikirkan hal itu sepanjang hari dan pada malam harinya saya menjadi ragu-ragu lagi; karena menurut saya jangan-jangan semuanya ini hanya main-main atau tipuan belaka, walau saya pun tak bisa membayangkan untuk apa mereka menipu saya dengan cara demikian. Nampaknya sangat tak masuk akal ada orang memberikan wasiat macam begitu, atau menggaji orang hanya untuk menyalin Encyclopedia Britannica. Vincent Spaulding berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan hati saya, tapi waktu mau tidur saya berkeputusan untuk tidak berurusan lagi dengan lowongan pekerjaan itu. Tapi keesokan harinya saya berubah pikiran lagi. Tak ada ruginya untuk mencoba dulu. Maka saya membeli sebotol tinta, pena, dan tujuh lembar kertas folio, lalu berangkat ke Pope’s Court.
“Saya heran sekaligus gembira, karena ternyata semuanya berjalan dengan lancar. Meja untuk saya bekerja sudah disiapkan, dan Mr. Duncan Ross ada di sana untuk mengecek apakah saya datang hari itu. Dia menunjukkan dari mana saya harus mulai menyalin, yaitu dari huruf A, lalu dia meninggalkan saya. Tapi beberapa kali dia muncul untuk menengok saya. Pada jam dua siang saya berpamitan padanya. Dia memuji hasil pekerjaan saya lalu mengunci kantor.
“Begitulah hari demi hari berlalu, Mr. Holmes, dan pada hari Sabtu Mr. Duncan Ross datang untuk menyerahkan gaji saya yang berjumlah empat pound itu. Begitu pula minggu-minggu berikutnya. Setiap pagi saya tiba di kantor itu pada jam sepuluh dan pulang pada jam dua. Lama-kelamaan, Mr. Duncan Ross semakin jarang datang, dan akhirnya tak pernah datang sama sekali. Tapi, tentu saja, saya tak pernah berani meninggalkan pekerjaan saya di kantor itu pada jam-jam yang ditentukan. Jangan-jangan dia mampir sewaktu-waktu. Gaji mingguan yang saya terima itu sangat berarti bagi saya, sehingga saya tak ingin kehilangan gaji itu.
“Delapan minggu berlalu seperti itu, dan saya sudah menyalin tentang Abbots, Archery, Armour, Architecture, dan Attica. Saya yakin saya akan segera mulai dengan B tak lama lagi. Saya cukup banyak mengeluarkan uang untuk membeli kertas folio, dan hasil salinan saya sudah hampir satu rak penuh. Tapi tiba-tiba pekerjaan saya itu dihentikan.”
“Dihentikan?”
“Ya, sir. Baru saja tadi pagi. Saya berangkat kerja seperti biasa, tapi pintu kantor itu tertutup dan dikunci. Ada pengumuman yang ditulis pada secarik karton persegi yang ditempelkan di papan. Nih, Anda bisa membacanya sendiri.”
Ditunjukkannya sebuah pengumuman yang tertulis di secarik karton putih berukuran kertas notes. Begini bunyinya:
PERKUMPULAN ORANG BERAMBUT MERAH
DIBUBARKAN
9 OKT, 1890
Sherlock Holmes dan aku mengamati pengumuman singkat dan wajah yang sedih di belakangnya itu secara bergantian, sampai kami tak dapat menahan tawa kami yang keras karena menurut kami semuanya ini amatlah menggelikan.
“Menurut saya tak ada yang lucu,” teriak klien kami dengan wajah merah padam. “Kalau kalian hanya bisa menertawakan kami, terima kasih. Lebih baik saya pergi sekarang.”
“Jangan, jangan!” teriak Holmes sambil mendudukkannya kembali di kursinya. “Saya benar-benar tak akan menyepelekan kasus Anda. Benar-benar luar biasa. Tapi, maaf, sebenarnya memang ada bagian yang amat menggelikan. Katakanlah, apa yang Anda kerjakan setelah membaca pengumuman di pintu itu?”
“Saya jadi bingung, sir. Saya tak tahu harus berbuat apa. Lalu saya masuk ke kantor-kantor di sekelilingnya, tapi tak ada yang tahu-menahu soal itu. Akhirnya, saya pergi ke pemilik gedung itu, seorang akuntan yang berkantor di lantai dasar, dan saya bertanya apa yang terjadi pada Perkumpulan Orang Berambut Merah. Dia berkata bahwa dia belum pernah mendengar tentang perkumpulan semacam itu. Lalu saya tanyakan siapa sebenarnya Mr. Duncan Ross itu. Dia menjawab bahwa dia tak kenal nama itu.
“’Well,’ kata saya, ‘yang berkantor di Ruang No. 4.’
“’Apa orang yang berambut merah itu?’
“’Ya.’
“’Oh,’ katanya, ‘namanya Williamm Morris. Dia seorang pengacara, dan menyewa ruangan itu untuk sementara sambil menunggu diselesaikannya bangunan kantornya yang baru. Dia pindah kemarin.’
“’Ke mana?’
“’Oh, tentu ke kantornya yang baru. Dia memberikan alamatnya pada saya. Ya, King Edward Street No. 17, dekat Gereja St. Paul.’
“Saya lalu mencari alamat itu, Mr. Holmes, tapi ketika sampai, ternyata tempat itu adalah pabrik tempurung lutut palsu, dan tak ada seorang pun di situ yang kenal dengan Mr. William Morris atau Mr. Duncan Ross.”
“Lalu?” tanya Holmes.
“Saya pulang ke Saxe-Coburg Square, dan minta nasihat pada asisten saya. Tapi dia tak bisa membantu apa-apa. Dia hanya mengatakan bahwa saya sebaiknya menunggu saja, mungkin saya akan dikabari melalui pos. Tapi saya penasaran, Mr. Holmes. Saya tak ingin kehilangan pekerjaan saya yang enak itu tanpa berusaha mempertahankannya. Itulah sebabnya saya menemui Anda, karena saya dengar Anda bersedia memberikan nasihat pada orang-orang miskin yang memerlukannya seperti saya.”
“Anda bertindak benar,” kata Holmes. “Kasus Anda ini luar biasa, dan dengan senang hati saya akan menanganinya. Dari penuturan Anda saya rasa mungkin ada hal-hal yang lebih gawat dari apa yang kelihatan.”
“Gawat?” teriak Mr. Jabez Wilson. “Tentu saja, saya kehilangan pendapatan sebanyak empat pound seminggu.”
“Dipandang dari kepentingan Anda,” komentar Holmes, “menurut saya Anda tak ada alasan untuk menyesali perkumpulan aneh ini. Sebaliknya, Anda telah memperoleh tiga puluh pound lebih, dan mendapat tambahan pengetahuan dari apa yang Anda salin itu. Anda tak dirugikan apa-apa, kan?”
“Tidak, sir. Tapi saya ingin tahu tentang mereka, siapa mereka sebenarnya, dan apa tujuannya mempermainkan saya seperti ini---kalau benar begitu. Permainan mereka cukup mahal… tiga puluh dua pound!”
“Kami akan mencoba semampu kami untuk menyelidiki hal ini. Tapi, tolong jawab dulu satu atau dua pertanyaan saya, Mr. Wilson. Asisten Anda yang pertama kali menunjukkan iklan itu kepada Anda---sudah berapa lama dia bekerja pada Anda?”
“Waktu itu kira-kira sudah sebulan.”
“Bagaimana Anda mendapatkan dia?”
“Dia membalas iklan yang saya pasang.”
“Apakah hanya dia yang datang melamar?”
“Tidak, ada dua belasan.”
“Kenapa Anda memilih dia?”
“Karena dia yang paling gampangan, dan gajinya rendah.”
“Separo dari yang umum, kan?”
“Ya.”
“Bagaimana tampangnya si Vincent Spaulding ini?”
“Kecil, agak gemuk, cekatan, mukanya mulus, walaupun usianya tak kurang dari tiga puluhan. Ada sedikit tembong warna putih di dahinya.”
Holmes menegakkan duduknya dengan penuh semangat.
“Sudah saya duga,” katanya. “Pernahkah Anda memperhatikan bahwa di telinganya ada lubang untuk anting-anting?”
“Ya, sir. Menurutnya, seorang gipsi telah melubangi telinganya ketika di amasih kecil.”
“Hm!” kata Holmes sambil berpikir. “Dia masih di tempat Anda?”
“Oh, ya, sir. Saya belum lama meninggalkannya.”
“Dan apakah selama ini usaha pegadaian Anda diurusnya dengan baik? Saat Anda tak berada di tempat, maksud saya?”
“Tak ada yang perlu dikeluhkan soal itu, sir. Lagi pula, tak banyak yang datang kalau pagi hari.”
“Baiklah, Mr. Wilson. Saya akan memberikan pendapat saya dalam satu atau dua hari. Hari ini Sabtu, jadi besok Senin kita mungkin akan sudah bisa menarik kesimpulan.”
“Nah, Watson,” kata Holmes ketika tamu kami sudah pulang, “apa komentarmu?”
“Aku tak punya komentar apa-apa,” jawabku dengan jujur. “Urusannya amat misterius.”
“Sebagaimana biasanya,” kata Holmes, “semakin tak menentu sesuatu, ternyata tak terlalu misterius jadinya. Justru yang biasa-biasa saja itulah yang benar-benar memusingkan kepala. Sama halnya dengan wajah yang biasa-biasa saja akan sulit diidentifikasi. Tapi aku harus bertindak cepat untuk kasus ini.”
“Apa yang akan kaulakukan?” tanya saya.
“Merokok dulu,” jawabnya. “Masalah ini akan menghabiskan tiga pipa penuh tembakau. Tolong jangan ganggu aku selama lima puluh menit.” Dia mendekam di kursinya, lututnya yang kurus dinaikkannya sampai hampir menyentuh hidungnya yang melengkung. Begitulah dia duduk dengan matanya yang tertutup dan pipa tanah liatnya mengepul. Benar-benar mirip seekor burung yang aneh! Aku terkantuk-kantuk menungguinya. Kukira dia jatuh tertidur, tapi tiba-tiba dia melompat dari kursinya dengan gaya seseorang yang baru saja mengambil keputusan penting, lalu ditaruhnya pipanya di atas rak.
“Rombongan musik Sarasate main di James’s Hall siang ini,” katanya. “Bagaimana, Watson? Mau meninggalkan pasien-pasienmu selama beberapa jam?”
“Aku tak praktek hari ini. Aku memang agak malas praktek.”
“Kalau begitu, kenakan topimu, dan ayo berangkat. Aku perlu ke City dulu, dan kita makan siang dalam perjalanan. Pementasan nanti siang banyak menampilkan musik Jerman, yang lebih kusukai dibanding musik Italia atau Prancis. Musiknya mengingatkan kita agar mawas diri, dan saat ini aku ingin mawas diri. Yuk!”
Kami pergi dengan kereta api bawah tanah sampai ke Aldersgate, lalu kami berjalan sebentar ke Saxe-Coburg Square, tempat tinggal klien kami yang datang tadi pagi. Tempat itu sempit, kecil, dan kotor, terdiri dari empat deret rumah bata berlantai dua yang depannya berpagar. Di sebelah dalam pagar, ada halaman rumput dan beberapa rumpun semak-semak. Asap yang mengepul di mana-mana menambah tak menariknya suasana di sekeliling tempat itu. Tiga bola sepuhan dan papan nama coklat bertuliskan JABEZ WILSON dalam huruf berwarna putih tergantung di salah satu rumah yang di ujung. Inilah rumah dan sekaligus tempat usaha klien kami yang berambut merah.
Sherlock Holmes berhenti di depan rumah itu sambil mengamatinya secara menyeluruh. Matanya bersinar-sinar. Dia lalu berjalan perlahan-lahan ke arah jalanan dan kembali lagi ke rumah di ujung itu sambil matanya terus mengamati rumah-rumah di sekitar situ. Akhirnya dia kembali ke rumah pegadaian itu, dan mengentak-entakkan tongkatnya dua atau tiga kali dengan keras ke halaman rumah itu. Setelah itu barulah dia menuju ke pintu dan mengetuk. Seorang pria muda yang kelihatannya pintar dan mulus wajahnya langsung membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk.
“Terima kasih,” kata Holmes. “Saya cuma mau tanya jalan. Kalau dari sini saya mau menuju ke daerah Strand, bagaimana ya?”
“Belokan ke kanan ketiga, lalu belokan ke kiri keempat,” jawab asisten itu dengan cekatan sambil menutup pintu.
“Orangnya pintar, dia itu,” kata Holmes ketika kami meninggalkan tempat itu. “Menurutku, dia mungkin orang paling pintar nomor empat di London, dan mungkin saja dia sedang membuktikan dirinya menjadi orang paling pintar nomor tiga. Aku sudah pernah berurusan dengannya sebelum ini.”
“Jadi,” kataku, “asisten Mr. Wilson ini banyak terlibat dengan misteri Perkumpulan Orang Berambut Merah. Aku yakin, kau tadi pura-pura tanya jalan hanya untuk melihat orang ini, kan?”
“Bukan melihat orangnya.”
“Lalu apa?”
“Lutut celananya.”
“Apa yang kaudapatkan?”
“Seperti dugaanku sebelumnya.”
“Mengapa kau pukul-pukul halaman rumah itu tadi?”
“Pak Dokter, sobatku, saat ini belum waktunya untuk bertanya-tanya, karena kita sedang melakukan pengamatan. Kita ini mata-mata yang sedang berada di daerah musuh. Kini kita sudah tahu tentang daerah Saxe-Coburg Square. Mari kita telusuri jalan-jalan di belakang rumah-rumah ini.”
Jalan yang kami temukan begitu kami membelok dari Saxe-Coburg Square yang kumuh sangat kontras sekali, bagaikan bagian depan sebuah gambar dibandingkan bagian belakangnya. Jalan ini adalah jalan utama yang dipenuhi lalu lintas dari dan ke daerah utara dan barat City. Sepanjang jalan terlihat kantor-kantor dagangan. Orang-orang sibuk keluar-masuk kantor-kantor itu. Tempat pejalan kaki di kedua samping jalan juga penuh sesak dengan orang-orang yang lalu-lalang. Rasanya sulit membayangkan bahwa tepat di balik deretan toko-toko dan kantor-kantor mewah itu terdapat pemukiman yang begitu kumuh.
“Coba kulihat,” kata Holmes sambil berdiri di sebuah sudut dan menatap sepanjang jalan itu. “Aku ingin mengingat peraturan gedung di sini. Aku memang hobi mengenal kota London dengan tepat. Ada toko Pak Mortimer, penjual rokok, kios kecil penjual surat kabar, City and Suburbank Bank cabang Coburg, Restoran Vegetarian, dan bengkel milik Mcfarlane. Itu yang di blok ini. Dan sekarang, Dokter, cukuplah pekerjaan kita hari ini, dan mari sedikit berekreasi. Beli sandwich dan secangkir kopi, yuk! Sesudah itu nonton pertunjukan musik biola yang suaranya mendayu-dayu, lembut, dan harmonis. Di sana nanti kita tak akan diganggu oleh masalah-masalah klien-klien kita.”
Temanku sangat menyukai musik. Dia tidak saja bisa main musik, tapi juga telah mengubah beberapa lagu yang cukup indah. Sepanjang siang itu dia duduk tenang di bangku tempat pertunjukan itu, wajahnya memancarkan kebahagiaan sambil jari-jarinya bergoyang-goyang pelan mengikuti alunan musik. Dia tersenyum simpul, dan matanya nampak sayu bak orang sedang melamun nun jauh di awang-awang. Sungguh tak mirip dengan penampilan Holmes sang detektif yang biasanya ketus, keras, dan tak pernah bisa tinggal diam. Kedua karakternya ini begitu mencolok perbedaannya, dan aku sering berpikir bahwa kecermatan dan kecerdikannya sebetulnya merupakan reaksinya terhadap suasana hatinya yang kadang-kadang puitis dan kontemplatif. Jadi, di satu saat dia bisa tenang-tenagn saja, tapi di lain saat kerja ngebut mati-matian. Dan setahuku---inilah anehnya---dia justru menghasilkan hal-hal yang hebat pada saat dia duduk bermalas-malasan di kursinya. Lalu, semangatnya akan terbakar untuk mencari-cari sesuatu dan mereka-reka pertimbangan-pertimbangan yang lihai, sehingga orang yang tak terbiasa bekerja dengannya akan mencurigainya sebagai orang sinting. Ketika aku melihatnya begitu terbius oleh musik di St. James’s Hall siang ini, akumerasa bahwa usaha pengejaran berikutnya pasti akan berhasil.
“Kau pasti ingin langsung pulang, Dokter,” komentarnya ketika kami meninggalkan tempat pertunjukan musik itu.
“Ya, begitulah.”
“Aku masih ada urusan di sini yang akan memakan waktu beberapa jam. Kasus di Coburg Square ini serius.”
“Serius bagaimana?”
“Ada tindak kejahatan yang sedang direncanakan. Aku punya alasan kuat untuk merasa yakin bahwa kita akan bisa mencegahnya tepat pada waktunya. Tapi karena ini hari Sabtu, jadinya agak menyulitkan keadaan. Aku butuh bantuanmu nanti malam.”
“Jam berapa?”
“Bagaimana kalau jam sepuluh?”
“Baik, aku akan tiba di Baker Street jam sepuluh.”
“Bagus. Perlu kuperingatkan, Dokter! Nanti mungkin agak berbahaya, jadi tolong bawa pistol di saku celanamu.” Dia melambaikan tangan, melangkah pergi ke arah lain, dan dalam sekejap menghilang di antara orang banyak.
Aku tahu bahwa aku tak lebih bodoh dari kebanyakan orang, tapi kalau berhubungan dengan Sherlock Holmes aku merasa jadi orang yang bodoh sekali. Coba saja sekarang ini, apa yang didengarnya sudah kudengar pula; apa yang dilihatnya kulihat pula, tapi dari pesannya tadi jelaslah bahwa dia tahu dengan jelas tidak hanya apa yang sudah terjadi, tapi juga apa yang akan terjadi. Sedangkan aku masih bingung dan tak tahu apa-apa sehubungan dengan kasus yang sedang kami tangani ini.
Dalam perjalanan pulang ke rumahku di Kensington, aku terus memikirkan kasus ini, mulai dari kisah klien kami yang berambut merah yang dipekerjakan sebagai penyalin ensiklopedi sampai ke kunjungan kami ke Saxe-Coburg Square, lalu peringatannya waktu berpisah denganku tadi. Penyelidikan macam apa yang hendak dilakukannya nanti malam? Mengapa aku harus bersenjata? Mau diajak ke mana aku dan mau apa kami di sana nanti? Aku menangkap sedikit petunjuk dari Holmes bahwa asisten rumah gadai yang mulus wajahnya itu adalah orang yang berbahaya---yang mampu bermain curang. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, tapi sia-sia saja. Kusingkirkan masalah ini dari benakku. Toh nanti malam aku akan tahu jawabannya.
Jam sembilan lewat seperempat aku berangkat dari rumah melewati daerah Park, lalu Oxford Street, untuk menuju ke Baker Street. Dua kereta sudah menunggu di luar, dan begitu aku memasuki halaman, aku mendengar suara dari atas. Ketika aku masuk ke kamarnya, Holmes sedang bersitegang dengan dua orang tamu, salah satunya kukenali sebagai Peter Jones, agen polisi resmi; sedangkan satunya lagi orangnya jangkung, kurus, bermuka murung, mengenakan topi yang mengkilat dan jas panjang yang necis.
“Ha! Rombongan kita sudah lengkap,” kata Holmes sambil mengancingkan jaketnya dan mengambil perlengkapan penyelidikannya yang berat dari rak. “Watson, kaukenal Mr. Jones dari Scotland Yard, kan? Mari kuperkenalkan dengan Mr. Merryweather yang akan menemani petualangan kita malam ini.”
“Kita berpasangan lagi untuk penyelidikan ini ya, Dokter,” kata Jones dengan gaya yang resmi. “Teman kita ini sukanya mengejar-ngejar sesuatu. Yang dia perlukan sebenarnya adalah seekor anjing pemburu.”
“Saya harap yang kita kejar ini nanti ternyata bukanlah seekor angsa liar belaka,” gerutu Mr. Marryweather dengan muram.
“Sebaiknya kita percaya saja pada Mr. Holmes, sir,” kata agen polisi itu dengan angkuh. “Dia punya cara-cara yang khas yang, maaf, saya anggap agak terlalu teoritis dan tak masuk akal. Tapi bagaimana pun dia itu punya bakat sebagai detektif. Mungkin perlu saya katakan bahwa kesimpulan-kesimpulannya memang pernah sekali atau dua kali lebih tepat dibandingkan kepolisian, misalnya dalam kasus pembunuhan Sholto dan kasus harta Agra.”
“Oh, kalau demikian, Mr. Jones, baiklah!” kata orang asing itu dengan hormat. “Tapi bagaimana pun, saya telah kehilangan kesempatan main bridge. Baru sekali ini dalam tiga puluh tujuh tahun usia saya, saya tak main bridge pada hari Sabtu malam.”
“Saya rasa Anda akan punya kesempatan nanti,” kata Sherlock Holmes, “untuk main dengan taruhan yang lebih tinggi dari yang pernah Anda lakukan, dan saya jamin permainan kita nanti akan jauh lebih mengasyikkan. Untuk Anda, Mr. Merryweather, taruhannya akan berjumlah sekitar tiga puluh ribu pound; dan untuk Anda, Jones, akan berupa orang yang sudah lama Anda incar untuk ditangkap.”
“John Clay, pembunuh, pencuri, perampok, dan pemalsu,” sambung Jones. “Dia masih muda, Mr. Merryweather, tapi dia sangat ahli dalam bidangnya dan saya akan lebih suka menangkapnya dibanding menangkap penjahat-penjahat lainnya di London. Hebat sekali si John Clay ini. Kakeknya seorang Royal Duke, dan dia sendiri pernah belajar di Eton dan Oxford. Baik otak maupun tangannya sangat lihai, dan walaupun kita melihat jejaknya di tiap sudut kota, kita tak pernah tahu di mana kita bisa menangkapnya. Dia bisa saja membongkar lemari besi di Skotlandia minggu ini, dan mengumpulkan dana untuk membangun rumah yatim piatu di Cornwall minggu berikutnya. Saya sudah mengikuti jejaknya selama bertahun-tahun, dan belum berhasil menemukannya.”
“Saya harap saya akan bisa mempertemukannya dengan kalian malam ini,” sahut temanku. “Saya juga sudah sempat berurusan dengannya satu atau dua kali, dan saya setuju kalau Anda katakan bahwa dia sangat ahli dalam bidangnya. Tapi, ini sudah jam sepuluh lewat, sebaiknya kita berangkat saja. Silakan Anda berdua naik kereta yang di depan, Watson dan saya akan menyusul di belakang Anda.”
Sherlock Holmes lebih banyak diam selama perjalanan yang panjang itu. Dia menyandarkan tubuhnya sambil menyenandungkan lagu-lagu yang didengarnya tadi siang. Kami melaju melewati jalanan yang diterangi lampu pada kedua sisinya. Lama sekali kurasakan perjalanan ini sebelum akhirnya tiba di Farringdon Street.
“Kita hampir sampai,” kata temanku. “Si Merryweather ini seorang direktur bank dan secara pribadi tertarik pada masalah yang sedang kita tangani. Lalu, kupikir sebaiknya mengajak Jones juga. Dia orangnya cukup baik, waluapun luar biasa dungu. Ada satu kelebihannya. Dia itu sangat pemberani, dan kalau sudah mencium jejak seorang penjahat dia akan ngotot terus sampai berhasil menangkapnya. Nah, kita sudah sampai. Mereka sudah menunggu kita.”
Kami telah tiba di jalan besar yang ramai yang telah kami lewati tadi pagi. Setelah membayar ongkos kereta, kami lalu diantar oleh Mr. Merryweather melewati sebuah lorong sempit yang menurun. Dia membuka sebuah pintu samping, lalu kami semua mengikutinya masuk. Di dalamnya ada sebuah koridor. Pada ujungnya terdapat pintu besi yang sangat besar. Setelah melewati pintu ini, kami menuruni tangga batu yang melingkar, dan sampailah kami pada sebuah pintu besi lagi. Mr. Merryweather berhenti untuk menyalakan lentera, kemudian kami pun digiringnya melewati lorong yang gelap dan berbau lumpur. Setelah membuka pintu ketiga, kami mendapatkan diri kami berada di sebuah gudang besar yang penuh dengan peti kayu yang besar-besar.
“Tempat perlindungan yang hebat, tak dapat ditembus dari atas,” komentar Holmes ketika dia mengangkat lentera dan memperhatikan sekelilingnya.
“Dari bawah juga tak bisa,” kata Mr. Merryweather sambil memukul-mukulkan tongkatnya ke garis-garis lantai. “Wah, kok menggema!” teriaknya sambil mengangkat muka dengan heran.
“Harap jangan berisik,” kata Holmes dengan marah. “Anda telah membahayakan keberhasilan penyelidikan ini. Enaknya begini saja. Silakan Anda duduk di salah satu peti kayu itu, dan jangan ikut campur!”
Mr. Merryweather menurut saja, walau dia sangat tersinggung. Dia lalu bertengger pada salah satu peti kayu itu. Holmes berjongkok di lantai, dan dengan menggunakan lentera dan kaca pembesarnya dia mulai mengamati celah-celah lantai dengan teliti. Beberapa detik kemudian dia berdiri lagi, dan menyimpan lensanya kembali ke dalam sakunya.
“Kita harus menunggu paling sedikit selama satu jam,” katanya, “karena mereka baru akan mulai beroperasi kalau pemilik pegadaian itu sudah benar-benar nyenyak tidurnya. Lalu mereka akan bergerak dengan sangat cepat, karena kalau tidak, mereka akan kehilangan waktu untuk meloloskan diri. Saat ini, Dokter, kita berada di gudang bawah tanah milik sebuah bank terkemuka di London. Mr. Merryweather adalah kepala direksinya, dan dia pasti akan menjelaskan padamu mengapa penjahat-penjahat yang nekat itu sangat menaruh minat pada gudang ini saat ini.”
“Sebabnya ialah emas Prancis kami,” bisik direktur bank itu. “Kami sudah menerima beberapa peringatan bahwa mungkin saja emas Prancis kami itu akan dirampok.”
“Emas Prancis?”
“Ya. Beberapa bulan yang lalu kami berhasil menambah sumber pendapatan kami, lalu kami meminjam uang sebanyak tiga puluh ribu napoleon dari Bank of France. Tapi, banyak orang yang tahu bahwa kami belum sempat membongkar uang emas itu, dan semuanya itu tersimpan di gudang bawah tanah ini. Peti yang saya duduki ini berisi dua ribu napoleon yang dikemas di antara tumpukan-tumpukan kertas timah. Persediaan emas murni saat ini jadinya amat banyak, jauh lebih banyak dari yang biasanya pernah disimpan di kantor cabang. Itulah sebabnya para direksi sangat kuatir akan keamanannya.”
“Kekhawatiran mereka cukup beralasan,” kata Holmes. “Dan sekarang sudah waktunya bagi kita untuk mengatur rencana. Saya rasa dalam satu jam ini banyak hal bisa terjadi. Sementara itu, Mr. Merryweather, kita harus menaruh penyekat di depan lentera.”
“Jadi kita akan menunggu dalam kegelapan?”
“Maaf, kelihatannya harus begitu. Saya membawa kartu, dan saya pikir karena kita rekan sekerja, Anda bisa main bridge. Tapi saya melihat bahwa persiapan musuh kita sedemikian rapinya, sehingga akan terlalu riskan kalau kita menyalakan lampu. Yuk, kita memilih posisi kita masing-masing. Yang kita tunggu ini penjahat-penjahat yang nekat, dan walaupun posisi kita lebih menguntungkan, mereka bisa saja melukai kita. Jadi kita harus berhati-hati. Saya akan berdiri di balik peti kayu ini, dan kalian silakan bersembunyi di balik peti-peti sana itu. Nanti kalau saya memberi tanda dengan menyalakan lampu sekejap, kalian harus segera mengepung. Kalau mereka menembak, Watson, langsung balas saja. Tak perlu ragu-ragu.”
Aku menaruh pistolku dalam keadaan terkokang di atas peti kayu tempatku bersembunyi. Holmes menarik penyekat di depan lenteranya, dan begitulah kami pun menunggu dalam kegelapan---kegelapan total yang tak pernah kualami sebelumnya. Bau logam panas menunjukkan bahwa lenteranya masih menyala di balik penyekat itu, dan kami menunggu sampai lentera itu berkedip sewaktu-waktu. Bagiku, yang sedang berkonsentrasi penuh, penantian ini benar-benar amat menekan perasaan. Ditambah pula dengan udara dalam gudang itu yang dingin dan pengap.
“Mereka hanya bisa keluar melalui rumah di belakang ini, yaitu rumah di Saxe-Coburg Square,” bisik Holmes. “Saya harap Anda telah melakukan apa yang saya suruh, Jones?”
“Sudah saya siapkan seorang insektur dan dua petugas di pintu depan.”
“Jadi, kita sudah menjaga semua lubang. Nah, sebaiknya kita sekarang diam saja dan menunggu.”
Wah, betapa lambatnya waktu berlalu! Ketika kami mengecek catatan-catatan kami kemudian, ternyata kami menunggu dalam kegelapan itu cuma selama satu seperempat jam. Tapi waktu itu rasanya sepanjang malam. Kakiku capek dan kaku semua, karena aku tak berani ganti posisi. Tapi, saraf-sarafku tegang dan waspada, dan pendengaranku menjadi amat peka. Aku bisa mendengar nafas teman-temanku, bahkan bisa membedakan nafas Jones gendut yang berat dengan nafas direktur bank yang ringan. Kalau aku melongok dari tempat persembunyianku nampak olehku lantai gudang itu.
Tiba-tiba mataku menangkap adanya kilatan cahaya. Mula-mula cuma berupa seberkas cahaya dari arah lantai batu itu. Kemudian berkas cahaya itu menjadi semakin panjang hingga membentuk sebuah garis berwarna kuning. Lalu, tanpa ada suara atau tanda apa-apa, tampak bayangan sebuah tangan yang putih, mirip tangan wanita, yang meraba-raba di tengah-tengah berkas cahaya itu. Selama satu menit atau lebih, tangan itu nongol dari lantai gudang itu. Lalu tiba-tiba tangan itu ditarik kembali, dan kembali hanya kegelapan yang mengitariku. Cuma berkas cahaya tadi yang menandai celah yang terbuka itu.
Menghilangnya tangan yang kulihat tadi ternyata hanya untuk sementara. Dengan suara keras, salah satu batu putih tergser ke samping dan tampaklah sebuah bayangan persegi dari sinar lentera. Kemudian dari lubang itu mengintiplah sebuah wajah yang mulus dan kekanak-kanakan. Dia mengamati sekeliling dengan saksama, lalu dengan kedua tangan berpegangan pada pinggiran lubang itu, dia mengangkat tubuhnya masuk ke gudang. Kemudian dia memanggil komplotannya yang juga bertubuh kecil seperti dirinya, berwajah pucat, tapi rambutnya berwarna merah mencolok.
“Semuanya aman,” bisiknya. “Mana kapak dan tasnya? Hebat, kau orang Skotlandia! Ayo, Archie, ayo, ayunkan kapak itu!”
Pada saat itulah Sherlock Holmes melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan menangkap kerah kemeja penjahat itu. Penjahat satunya lagi masuk kembali ke lubang darimana mereka muncul tadi. Kudengar bunyi kain robek. Rupanya Jones berhasil menangkap bagian belakang jasnya. Terlihat lampu pistol menyala, tapi tongkat Holmes telah lebih dulu memukul pergelangan tangan penjahat itu. Pistol itu terlempar ke lantai.
“Percuma, John Clay,” kata Holmes dengan lembut, “kau tak mungkin bisa lari.”
“Oh, begitu,” jawab si penjahat dengan amat tenang. “Kurasa teman-temanku baik-baik saja, walaupun kau bisa menangkap bagian belakang jasnya.”
“Ada tiga polisi yang siap menangkapnya di pintu depan,” kata Holmes.
“Oh, ya? Rupanya kau ttelah mengaturnya dengan rapi. Aku memuji kehebatanmu.”
“Aku pun pantas memuji kehebatanmu,” jawab Holmes. “Ide rambut merahmu benar-benar sesuatu yang baru dan efektif.”
“Kau akan bergabung dengan temanmu sebentar lagi,” kata Jones. “Dia tadi menyusup dengan cepat sekali. Tunggu sebentar sementara aku menyiapkan kereta untuk mengangkut kalian.”
“Jangan sampai tanganmu yang najis menyentuhku,” kata tawanan kami itu ketika tangannya diborgol. “Kau mungkin tak sadar bahwa aku masih keturunan bangsawan. Jadi kalau ngomong padaku hendaknya memakai ‘sir’ dan ‘silakan’.”
“Baik,” kata Jones sambil melotot dan tertawa cekikikan. “Yah, silakan, sir, berjalan ke atas dan naik kereta yang akan membawa Yang Mulia menuju kantor polisi.”
“Begitu lebih baik,” kata John Clay dengan santai. Dia membungkukkan badan kepada kami bertiga dan dengan tenang berjalan ke luar didampingi Detektif Jones.
“Wah, Mr. Holmes,” kata Mr. Merryweather ketika kami mengikuti di belakang mereka keluar dari gudang bawah tanah itu. “Saya tak tahu bagaimana bank ini harus berterima kasih atau membalas budi kepada Anda. Anda telah mencium dan menggagalkan percobaan perampokan ini dengan cara yang sangat jitu. Baru kali ini saya melihat penjahat yang begini lihai.”
“Saya telah sekali atau dua kali berurusan dengan Mr. John Clay,” kata Holmes. “Nah, ada sedikit biaya yang saya keluarkan untuk urusan ini, moga-moga bank mau menggantinya. Tapi saya tak minta apa-apa lagi. Saya sudah merasa diberi balas budi dengan mengalami pengalaman yang unik ini dan dengan mendengarkan kisah tentang Perkumpulan Orang Berambut Merah.”
“Begini, Watson,” dia menjelaskan keesokan harinya saat kami sedang minum segelas wiski dicampur soda di Baker Street, “sejak awal aku sudah tahu bahwa tujuan satu-satunya dari iklan perkumpulan yang fantastis dan tawaran pekerjaan menyalin ensiklopedi itu hanyalah upaya agar pemilik pegadaian itu meninggalkan rumahnya selama beberapa jam setiap hari. Memang caranya agak aneh, tapi itulah satu-satunya jalan bagi mereka. Pasti idenya berasal dari si Clay yang lihai itu, dan diilhami oleh warna rambut temannya. Upah empat pound seminggu hanyalah umpan yang tak seberapa nilainya dibandingkan dengan buruan mereka yang nilainya ribuan pound. Mereka memasang iklan, menyewa sebuah kantor untuk sementara, dan si Clay lalu membujuk pemilik rumah pegadaian itu untuk melamar pekerjaan itu. Dengan demikian mereka aman beroperasi sepanjang pagi sementara pemilik rumah itu pergi bekerja. Sejak aku mendengar bahwa asisten itu mau digaji rendah, aku sudah menduga bahwa dia pasti punya tujuan lain.”
“Tapi, bagaimana kau bisa menduga tujuan apa yang diarahnya?”
“Kalau saja di rumah itu ada wanita, aku mungkin akan mencurigai ada rencana intrik kisah cinta. Tapi, ternyata tidak demikian keadaannya. Rumah pegadaian itu cuma usaha kecil, sehingga aku bertanya-tanya untuk apa semua persiapan yang begitu rapi dan memakan banyak biaya itu. Jadi pasti untuk sesuatu di luar rumah itu. Lalu untuk apa, ya? Aku teringat akan kegemaran asisten itu akan potret-memotret dan menghilangnya dia ke gudang bawah tanah. Gudang bawah tanah! Inilah rupanya petunjuk yang selama ini kubutuhkan. Aku lalu mencari informasi tentang asisten yang misterius ini, dan dari situ aku tahu bahwa aku berhadapan dengan penjahat yang paling kejam dan paling nekat di London ini. Asisten itu mempersiapkan sesuatu di gudang bawah tanah itu---sesuatu yang memakan waktu beberapa jam sehari selama berbulan-bulan. Sekali lagi aku bertanya, untuk apa semua itu? Satu-satunya yang masuk akal ialah bahwa ia sedang membuat terowongan yang menghubungkannya ke gedung lain.
“Hanya sejauh itulah dugaanku sampai akhirnya kita sampai di tempat kejadian. Aku memukul-mukulkan tongkatku pada halaman rumah pegadaian itu, dan kau sempat terheran-heran melihat kelakuanku. Saat itu aku sedang memeriksa apakah gudang bawah tanahnya ada di depan atau di belakang. Ternyata bukan di depan. Lalu aku membunyikan bel pintu, dan sebagaimana yang kuharapkan, asisten itulah yang membuka pintu. Kami memang sudah pernah berurusan sebelum ini tapi belum pernah berhadapan muka. Aku hampir-hampir tak melihat wajahnya sama sekali. Lututnyalah yang ingin kulihat. Kau sendiri berkoemntar betapa lusuh dan kotornya lutut celananya. Itu akibat berjam-jam menggali lubang penghubung itu. Hal lain yang perlu diketahui ialah untuk apa mereka membuat terowongan itu? Aku lalu berjalan mengitari daerah itu, dan kulihat bahwa gedung City and Suburban Bank berdempetan persis di belakang rumah pegadaian itu. Waktu itulah aku merasa telah mendapatkan jawaban atas kasus ini. Ketika kau pulang setelah menonton konser, aku menghubungi Scotland Yard, dan juga kepala direksi bank yang bersangkutan, dan selanjutnya kau tahu ceritanya.”
“Bagaimana kau tahu bahwa komplotan itu akan beroperasi semalam,” tanyaku.
“Yah, ketika mereka menutup kantor perkumpulan mereka, itu berarti kehadiran Mr. Jabez Wilson tak diperlukan lagi di situ, atau dengan kata lain mereka telah selesai membuat terowongan. Tapi mereka harus bertindak secepatnya jangan sampai polisi menemukan terowongan itu, atau emas yang tersimpan sudah dipindahkan ke tempat lain. Hari yang paling cocok bagi mereka untuk menjalankan rencana itu ialah hari Sabtu, karena ada waktu dua hari bagi mereka untuk melarikan diri. Dari semua alasan inilah aku menduga mereka pasti akan beroperasi malam tadi.”
“Pertimbanganmu hebat sekali,” teriakku dengan penuh rasa kagum. “Jalinannya cukup panjang, tapi toh tiap bagian sesuai dengan lainnya.”
“Hal-hal beginilah yang menolongku mengatasi kebosanan yang membelenggu hidupku,” jawabnya sambil menguap. “Aku sebal kalau hidupku biasa-biasa saja.”
“Dengan demikian kau menjadi penolong umat manusia,” kataku.
Dia mengangkat bahunya. “Yah, mungkin keahlianku ini ada manfaatnya,” komentarnya. “Manusia itu tak berarti apa-apa, pekerjaannya itulah yang membuat hidupnya berarti,’ tulis Gustave Flaubert kepada George Sand.”*
**Keduanya novelis kondang berkebangsaan Prancis.